MC 8

146 8 0
                                    

"Sebenarnya, ini adalah amanat dari ayahmu sebelum meninggal dulu, Le. Maaf, Ibu belum pernah cerita sebelumnya. Tapi, bener kamu belum punya pacar atau calon kan?"

"Belum ada calon, Bu. Tapi, apa harus dengan jalan dijodohkan, Bu?"

"Ini amanat terakhir ayahmu, Le. Ibu takut jika tidak bisa memenuhinya."

"Tapi, Adnan masih belum mikir ke arah sana, Bu."

"Terus mau nunggu umur berapa kamu menikah? Jangan malah menambah dosa dengan main perempuan sana sini. Kamu kira Ibu nggak tau kalo kamu punya banyal teman perempuan yang cukup dekat. Ibu nggak suka, Nak."

"Mohon maaf nggih, Bu. Tapi, Adnan tidak pernah berbuat yang aneh-aneh kok, Bu, selama ini," kilahnya.

"Iya, Ibu percaya sama kamu, Nak. Makanya setelah ini, putuskan semua hubunganmu dengan cewek-cewek itu."

"Ngomong-ngomong siapa calon yang Ibu pilihkan untuk Adnan?"

Bayangan wajah teduh Aira, sang owner butik menyapa tanpa aba-aba. Ia teringat usahanya untuk menemui perempuan itu beberapa kali, tetapi selalu gagal. Mungkin ini pertanda yang dikirimkan oleh Allah bahwa bukan perempuan itu yang seharusnya ia kejar.

"Kamu ingat Kiai Rohman, pengasuh pesantren Al Karomah?" tanya Ibu.

"Oh, yang Adnan pernah mondok di sana selama satu tahun itu, ya, Bu? Kemudian kita sekeluarga harus pindah mengikuti tugas Ayah ke luar Jawa."

"Iya, betul. Kiai Rohman itu teman karib ayahmu, dan ayah dari Kiai Rohman itu juga sahabat kakekmu, bahkan kakekmu dulu ikut merintis mendirikan pesantren Al Karomah."

"Oh, ya? Kok Adnan belum pernah denger tentang ini, Bu? Trus, apa hubungannya sama calon Adnan?"

"Iya, ayahmu belum sempat cerita. Jadi, putri Kiai Rohman ini yang akan dijodohkan sama kamu, Le."

"Uhuk ... uhuk!" Adnan segera meneguk habis air minum dalam gelasnya.

"Jadi, Adnan mau dijodohkan sama putri kiai, Bu, sama Ning?" Adnan melotot sambil memandang ibunya.

Dalam benak Adnan, seorang putri kiai atau yang biasa dipanggil dengan sebutan Ning, adalah orang yang sangat alim, wajahnya selalu tertunduk malu, hijabnya panjang menjuntai hingga lutut. Pokoknya perempuan yang sama sekali tidak kekinian, perempuan yang hanya fokus dengan urusan pesantren dan ilmu agama saja.

"Trus kalau nanti dia jadi pendampingku, jadi ibu persitku yang harus lincah, harus bisa berbaur dengan siapa saja, mengikuti segudang kegiatan di batalyon, bagaimana, apakah dia mampu? Lalu, aku sendiri, yang ilmu agamaku tidak terlalu dalam, apakah pantas bersanding dengannya?" Pikiran Adnan berkecamuk hebat.

"Iya, betul, namanya, Ning Medina."

"Medina?"

"Iya, Medina itu nama belakangnya, nama depannya Ibu lupa."

Seketikan Adnan lemas mendengar penuturan Ibu. Namun, apa daya, Adnan tidak kuasa menolak setiap permintaan ibunya. Terlebih setelah ditinggal ayahnya, Adnan tidak mau sekali pun membuat kecewa hati ibunya. Sebisa mungkin dia perasaan ibunya agar selalu bahagia, semringah selamanya.

💞💞💞💞

Butik Aira sedang ramai pengunjung malam ini. Seperti biasa, jika weekend seperti ini butik selalu ramai. Mulai dari mahasiswa, ibu rumah tangga, hingga ibu-ibu pejabat menjadi pelanggan di butik Aira.

"Eh, iya, Ra. Tadi kamu dapat salam dari cowok yang beli koko warna abu kemarin."

"Oh, ya? Dia ke sini lagi?"

Muhasabah CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang