"Di Sabtu yang cerah ini, gue mau nanya deh sama lo," ucap Difan ketika ia dan Dito sedang berjalan menuju kantin.
"Nanya apa?" balas Dito sambil menatap Difan sejenak, Difan dapat melihat raut wajah sahabat sejak SMP-nya itu, jelas sekali kalau Dito sedang dilanda kebingungan.
"Lo lagi mikirin apa sekarang? Maksud gue, lo ada rencana apa beberapa menit ke depan?'
"Sekarang gue lagi mencoba menentukan pilihan, antara mie ayam atau bakso," jawab Dito.
"Kalo beberapa menit ke depan. Setelah gue pikir-pikir, gue mau makan mie ayam aja, minumnya es teh. Mantap." lanjut pria itu.
Difan menghentikan langkah, membuat sang sahabat juga melakukan hal yang sama. Difan menyilangkan tangan lalu ia tersenyum. Jujur saja, saat ini Dito dapat merasakan keanehan di diri pria yang berdiri di hadapannya ini.
"Yakin kalo lo cuma mikirin seputar makanan doang?"
Dito berpikir sejenak lalu ia berkata, "Mungkin kita bakal ngobrol sambil makan."
"Yakin? Gue rasa, kita nanti nggak bakal ngobrol deh. Gue juga yakin, kalo ngobrol sama gue adalah kegiatan yang nggak terlintas di otak lo."
Difan memegang bahu kanan Dito. "Karena kegiatan yang lo pikirin sambil makan adalah ngelihatin salah satu perempuan yang duduk di kursi pojok kiri kantin."
Dito terdiam, bukan karena ia bingung apa yang harus dikatakan. Tapi ia memang tidak mau menjawab. Dito memilih melanjutkan langkah lebih dulu, sedangkan Difan mengikutinya dari belakang.
Begitu Dito dan Difan sampai di area kantin, mereka memesan menu yang berbeda. Setelah mengantre dan memesan makanan dan minuman masing-masing, Dito dan Difan harus menunggu sampai apa yang akan mereka santap ada di atas nampan.
"Lo beneran naksir sama salah satu dari perempuan yang duduk di sana?" tanya Difan dengan nada yang menunjukkan kalau ia sangat bersemangat untuk membahas topik ini.
Dito tidak bersuara, pria itu menunggu sampai dirinya dan Difan duduk di kursi kantin, tepatnya sembari makan.
"Gue nggak tahu," jawab Dito sambil menasukkan mie yang sudah digulung di garpu ke dalam mulut. "Bingung."
Difan mengangguk kemudian ia memotong bakso sebelum melahapnya. "Wajar sih, karena lo kan baru pertama kali ngerasain ini."
Dito dan Difan tidak terlibat percakapan lagi sampai makanan mereka habis. Saat mangkuk dua sahabat itu sudah kosong ternyata masih ada waktu sepuluh menit sebelum bel tanda pelajaran kedua berbunyi.
Difan mengarahkan pandang ke kursi tempat Dita dan Disha duduk. Dua gadis itu belum beranjak, mereka masih asyik mengobrol, sesekali Dita dan Disha meminum jus yang mereka pesan.
Setelah satu menit memperhatikan mereka, Difan kembali menatap Dito. "Di antara mereka berdua, lo suka sama yang mana, To?"
Dito terdiam karena ia berada di dua pilihan. Antara langsung memberi tahu Difan saat ini, atau menundanya dulu. Jujur saja, Dito belum siap memberi tahu tentang ketertarikannya kepada gadis yang itu.
"Nggak apa-apa kalo lo belum siap cerita, gue ngerti, kok," ucap Difan.
Difan bangkit berdiri, pria itu menghampiri Dito dan mengajak sahabatnya itu untuk keluar dari area kantin menuju ke kelas. Difan berhenti melangkah lalu ia berkata, "Lo pasti udah tahu nama dia, kan? Dua perempuan itu kan korban dari kejadian di kantin."
Dito mengangguk. "Udah. Sebenarnya gue pengin kenalan langsung sih, tapi gue belum berani."
"Suatu saat nanti, pasti lo bakal berani. Entah lo yang berhasil ngumpulin keberanian, atau dipaksa sama keadaan," ucap Difan lalu melangkahkan kakinya terlebih dahulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Grateful
Teen FictionMasa SMA yang dijalani Dita berbeda. Gadis itu sempat lelah menjalani hari-hari di SMA Gunadarma yang begitu berat, tapi Dita bersyukur karena tidak semua orang di sekolah Gunadarma mengukir kejadian buruk di memori otaknya. Ada orang-orang baik yan...