14

13 8 0
                                    

Begitu Dita sampai di gerbang sekolah, gadis itu langsung disambut oleh Disha. Sebenarnya Disha sudah sampai sejak tadi, tapi teman Dita itu sengaja menunggu Dita agar mereka bisa berjalan ke kelas bersama.

Rasa penasaran langsung hadir di  diri Disha, gadis itu melontarkan pertanyaan setelah ia berjalan di samping Dita. "Kok lo nggak naik angkot hari ini?"

"Nggak, gue jalan kaki dari rumah."

Disha berhenti melangkah, ia menoleh ke Dita dengan mata yang membelak. "Lo gila, ya? Rumah lo tuh jauh banget, Ta!"

Dita mengarahkan pandang ke Disha lalu terkekeh. "Gue bercanda, Sha. Emang nggak lucu, ya?'"

"Lucu, kok. Tapi selera humor lo bikin orang kaget aja,"  ucap Disha kemudian ia tertawa dengan terpaksa. "Besok-besok jangan gitu, Ta. Nggak baik tahu."

"Gue minta maaf, Disha."

Karena rasa penasarannya belum hilang, Disha pun menepuk bahu Dita pelan. "Jadi, lo berangkat sekolah naik apa?"

Dita tidak langsung menjawab, ia mengambil buku pelajaran terlebih dahulu sebelum melanjutkan langkah. Dita mulai sadar, saat ini sudah banyak tatapan sinis dari para murid SMA Gunadarma, dan dirinya tidak nyaman dengan itu.

Sebenarnya, buku ini hanya sebagai benda penghalang saja, agar Dita tidak langsung melihat mata para perundung, dan mereka tidak bisa melihat gerak bibir dua gadis itu.

"Gue berangkat bareng Dito, tapi gue sengaja minta dia buat turunin gue di jalan yang agak jauh dari sekolah," jawab Dita sambil berbisik.

"Serius lo?" tanya Disha dengan mata yang melotot, untungnya ia masih bisa mengontrol suara agar tetap pelan.

"Biasa aja dong matanya, nggak usah kayak orang kaget gitu," jawab Dita.

"Jawaban lo emang bikin kaget sih, Ta," balas Disha, "Gimana bisa, lo? Dito? Tiba-tiba banget."

"Bisa aja, Sha. Kemarin malam Dito nelepon gue, dia pesan bubur, terus  ngajak gue buat sarapan bareng di taman sebelum kita berangkat ke sekolah."

"Mungkin Dito ngajak gue ke taman karena gue ngomong kalo gue nggak ada niat belajar kemarin. Jujur aja, kemarin gue masih mikirin perkara meja yang dicoret, kan."

Disha dapat melihat senyum yang hadir di bibir Dita. "Gue akui, ngobrol bareng Dito bisa bikin suasana hati gue membaik."

Disha ikut bahagia jika Dita merasa lebih baik, tapi masih ada satu pertanyaan yang belum terjawab. "Kok lo minta diturunin di jalan? Kenapa nggak langsung sampai parkiran?"

Dita tidak langsung bicara, bola mata gadis itu bergerak ke kanan dan kiri, mengisyaratkan sesuatu. "Gue malas dengar omongan jahat. Ditatap sinis setiap hari aja udah buat hati gue sakit."

Disha mengerti apa yang Dita rasakan. Jujur saja, terkadang Disha memposisikan diri sebagai sang teman di dalam pikirannya. Setelah itu Disha sadar, kalau menjadi Dita sangat tidak mudah.

###

Siang ini Danu, Diska, Dita, dan Disha berada di ruang BK. Mereka berempat akan menyantap makanan masing-masing. Danu, Diska, dan Disha dengan bubur ayam, sedangkan Dita akan makan dengan menu mie ayam.

Tapi sebelum mulai makan, Diska tersenyum kepada Dita. "Terima kasih karena kamu sudah membawakan bubur ayam yang dijual orangtuamu ya, Dita."

"Terima kasih juga karena Pak Danu dan Bu Diska sudah membayar bubur ayam yang saya bawakan," jawab Dita.

Dita mengarahkan pandangan ke Disha yang duduk di sampingnya  "Makasih ya lo udah bayar juga."

"Sama-sama, Ta."

Mereka berempat mulai menyantap makanan masing-masing. Hingga bubur ayam yang Diska nikmati tinggal tersisa setengah, wanita itu baru ingat tentang apa yang ingin ia sampaikan kepada Disha.

"Disha, kamu sudah tahu kan Denira, Detina, dan Desniara itu siapa?"

Disha mengangguk. "Iya, Bu. Saya sudah tahu."

"Ibu tahu kamu kesal dengan tiga perundung itu, tapi kamu harus sabar, jangan menggunakan cara yang tidak baik. Jangan main hakim sendiri kepada Denira, Detina, dan Desniara kalau mereka berbuat ulah lagi nantinya."

Disha mengangguk. "Terima kasih Bu atas penjelasannya. Saya juga tidak akan mengupayakan apa yang sebenarnya saya bisa secara tiba-tiba. Pasti saya dan Dita akan melibatkan Pak Danu dan Bu Diska untuk mencari jalan keluarnya."

"Bagus kalau kamu membuat pilihan bijak seperti itu," balas Danu.

Danu meminum air mineral yang terletak di meja lalu ia menoleh ke Diska yang duduk di sampingnya. "Saya salut dengan kesabarannya Dita, Bu."

"Sejauh ini tidak ada laporan yang masuk ke saya terkait perundungan yang dilakukan Denira, Detina, dan Desniara. Mereka baru ditindak setelah saya yang turun tangan sendiri," lanjut Danu.

Beberapa detik kemudian tatapan Diska terarah ke bubur yang ada di hadapannya, lalu beliau kembali menatap Dita. "Ngomong-ngomong, bubur ayam yang kamu bawa ini enak sekali."

"Nanti saya dan Pak Danu akan promosikan ke guru-guru yang lain, Ta. Tenang saja." Diska terkekeh lalu menatap Danu. "Iya kan, Pak?"

Danu menggerakkan kepala ke atas dan bawah. "Iya, Bu."

Kini bubur ayam yang disantap Disha, Danu, dan Diska sudah habis. Begitu juga dengan mie ayam yang dimakan Dita.

Saat Disha dan Dita sedang membereskan mangkuk, peralatan makan, dan styrofoam bekas mereka makan, tiba-tiba mereka mendengar bel tanda pelajaran kedua akan dimulai berbunyi.

"Lebih baik, kalian menggunakan wastafel yang ada di ruangan ini untuk cuci tangan sebelum masuk kelas. Nanti kalian berjalan bersama saya."

"Biar saya panggil Bu Dera untuk membereskan peralatan makan kita siang ini," timpal Danu.

Sekarang Dita dan Disha sudah ada di belakang Diska. Mereka berdua menoleh ke arah Danu yang masih duduk di kursinya. "Kami permisi dulu, Pak," ucap Dita.

Danu membalas perkataan Dita dengan anggukan dan senyuman. Saat Disha mulai berjalan melintasi koridor, tangan gadis itu menyenggol lengan Dita dengan sengaja.

Dita menoleh ke Disha. Dita tidak  apa pun, tapi sorot mata gadis itu seolah berkata, "Apa?"

Disha tidak langsung menjawab, ia melihat punggung Diska yang melangkah di depan mereka, Disha senyum-senyum sendiri tanpa memberi penjelasan apa pun pada Dita.

"Apa, Sha? Lo jangan buat gue penasaran sama isi pikiran lo sekarang," ucap Dita pada akhirnya.

"Gue happy sekaligus bersyukur, Ta. Karena siang ini kita nggak bakal dilihatin sinis sama geng norak dan antek-anteknya."

Disha melihat beberapa murid yang sedang berjalan menuju kelas, mereka menyempatkan untuk menunjukkan senyum kepada Diska selaku guru mereka. "Lihat tuh, mereka senyum, Ta."

"Artinya, mereka segan sama Bu Diska," lanjut Disha dengan raut wajah yang serius.

"Emang udah seharusnya, Sha. Lo gimana, sih?"

"Yaudah kalo gitu, mulai besok kita makan siang di ruang BK atau ruang guru aja. Sampai kita lulus. Gimana, bagus nggak ide gue?"

"Lo ngaco banget, Sha!" ucap Dita pelan tapi Disha bisa menangkap rasa kesal yang meliputi sang teman saat mengatakannya.

Perkataan Disha terbukti saat mereka sudah masuk kelas. Benar saja, tidak ada orang yang melayangkan sorot mata sinis kepada Dita dan Disha.

"Dita, Disha. Silakan duduk di kursi kalian, pelajaran sebentar lagi akan kita mulai."

Disha dan Dita mengangguk kemudian menjawab serempak "Baik, Bu."












Yeay, Grateful update lagi! Jangan lupa vote and comment ya, Teman-Teman. Terima kasih!

GratefulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang