Dita berjalan menghampiri seorang pria sambil membawa nampan. Begitu sampai, ia langsung menaruh mangkuk kecil yang ada di atas nampan ke meja. "Ini tambahan kuah kuningnya, Pak."
"Makasih Mbak Dita," balas pria 40 tahunan itu.
"Sama-sama, Pak."
Pria itu tersenyum. "Jarang-jarang loh, ada anak yang mau bantuin orangtuanya. Biasanya kan, mereka udah pusing masalah pelajaran di sekolah, atau mereka lebih milih main dengan temannya."
"Orangtua saya jualan kayak gini juga demi saya, Pak. Jadi nggak masalah kalo saya ngeringanin pekerjaan mereka.
"Lagi pula, apa yang saya kerjakan sekarang nggak ada apa-apanya dengan perjuangan mereka dalam merawat saya."
Beliau mengangguk, sebagai tanda kalau ia setuju dengan apa yang Dita katakan, kemudian si gadis melanjutkan.
"Pak, saya tinggal dulu ya, mau melayani pelanggan lain."
Dita pergi sambil membawa nampan, ia bergegas kembali meracik bubur ayam, membantu Dilna dam Deri yang sudah sibuk.
Terlebih lagi, ini adalah hari libur. Bisa jadi, di Minggu pagi yang berawan ini akan banyak pelanggan yang datang untuk sarapan.
Saat Dita sedang sibuk menyiapkan pesanan, ternyata ada orang yang memotretnya diam-diam. Bukan cuma satu foto, melainkan ada beberapa gambar yang sudah berhasil ia ambil.
Orang itu tersenyum licik sambil menatap potret Dita yang sudah ada di ponsel yang ia genggam.
Begitu selesai orang itu kembali memasukkan ponsel ke saku jaket putihnya sebelum melangkah menyebrangi jalan untuk menaiki mobil hitam yang terparkir di dekat rumah warga.
"Desni, mana buburnya?" tanya Detina yang duduk di kursi pengemudi.
Denira menatap Desniara lewat kaca yang terletak di dashboard mobil. "Nggak tahu nih, Desni emang nggak jelas!"
Bukannya takut karena mendengar Denira berseru, Desniara malah tertawa. Tentu saja, tawa sang gadis membuat Denira dan Detina bingung, mereka bertatapan sambil mengerutkan kening, mencoba mencari penyebab Desniara menjadi aneh seperti ini.
Detina yang sudah muak mendengar tawa Desniara yang tercipta tanpa alasan pun berseru. "Desni, lo udah gila ya?!"
Desniara menghentikan tawa kemudian memajukan tubuh, tangan kiri gadis itu memegang jok yang diduduki Detina. "Tina, lo mau tahu apa yang lebih gila dari gue sekarang?"
Desniara segera mengambil ponsel dari saku jaket yang dipakainya, sang gadis membuka fitur galeri lalu menunjukkan layarnya agar foto-foto yang tadi ia abadikan bisa terlihat oleh Denira dan Detina.
Desniara merasa puas ketika melihat wajah Detina dan Denira yang sangat senang saat melihat hasil foto tersebut.
Desniara merasa kalau kedua temannya itu sangat menyayanginya ketika mereka tersenyum, Desniara merasa dihargai, sungguh.
"Kirim fotonya ke grup chat kita bertiga, nanti gue cetak fotonya. Besok kita berangkat pagi ke sekolah, kita tempel foto-foto itu di seluruh mading," ucap Denira.
Desniara bertepuk tangan sambil tersenyum. "Gue jadi nggak sabar lihat reaksi Dita besok, pasti telinganya bakal sakit karena dengar suara ketawa dari semua murid."
Denira terdiam dan diamnya sang gadis menular pada Desniara dan Detina. Sekarang giliran Desniara dan Detina yang bingung, mereka menerka penyebab apa yang membuat Denira tidak bicara.
Denira tidak betah melihat ekspresi sahabat-sahabatnya yang kesusahan mencari jawaban karena perubahan sikap dirinya pun segera menjelaskan.
"Satu hal yang jadi tujuan utama kita ke sini mana? Belum lo beli kan, Desni?"
Desniara menggeleng. "Belum."
"Gue nggak mau orangtua gue marah-marah karena gue lama beliin sarapan mereka. Bukan cuma mereka yang marah-marah, tapi gue juga! Gue belum sarapan tahu!"
"Papa dan Mama kalian juga nyuruh kalian beli bubur, kan? Lo berdua juga belum sarapan."
Desniara mengarahkan pandangan ke jendela mobil. "Gue nggak mau ya, kalo disuruh balik ke sana."
Denira mengembuskan napas kasar lalu ia membuka laci dashboard, gadis itu mengambil masker dan kacamata kemudian memakainya.
Setelah itu, Denira berjalan lalu membuka pintu belakang sebelah kiri mobil miliknya."Lepas jaket lo," ucap Denira.
Kening Desniara berkerut yang menandakan ia sedang bingung. "Buat apa?"
"Gue mau beli bubur, tapi gue nggak mau dikenali sama Dita. Ngerti?"
Tanpa menunggu waktu lebih lama, Desniara langsung melepas jaketnya. Setelah jaket itu melekat di tubuh. Denira langsung menutup pintu mobil lalu ia berjalan menuju warung bubur ayam Bersyukur
###
Dita menunda aktivitas belajar karena suara ketukan pintu, gadis itu menutup buku lalu ia berjalan untuk membuka pintu kamar. Dita dapat melihat Darti berdiri di hadapannya.
"Ibu boleh masuk nggak, Ta?" tanya wanita itu.
"Boleh, Bu." Dita menggeser tubuhnya agar Darti bisa masuk lebih dulu kemudian gadis itu mengikuti Darti dari belakang. Darti duduk di pinggir ranjang kemudian Dita menyusul duduk di samping beliau.
"Ada apa, Bu?" tanya Dita karena sedari tadi Darti belum mengatakan apa pun.
Darti mengarahkan pandang kepada Dita, ia tersenyum. Dita dapat melihat binaran yang terpancar dari mata Darti, Dita tahu betul kalau sang ibu sedang bahagia sekarang. Jujur saja, Dita jadi penasaran akan penyebab rasa bahagia itu.
"Ibu senang karena kamu menerapkan apa yang Ibu dan Bapak ajarkan, kamu minta maaf ke penjual bakso yang mangkuknya kamu pecahkan beberapa hari lalu, dan kamu mengganti mangkuk Bapak itu juga."
Darti membawa tubuh sang anak ke pelukannya. "Makasih karena kamu udah lakukan itu, Ibu bersyukur punya kamu di hidup Ibu. Ibu yakin, Bapak juga begitu."
Dita mengangkat kepala untuk menatap Darti. "Aku juga bersyukur punya orangtua seperti Ibu dan Bapak."
Lima menit dihabiskan Darti dan Dita untuk menyalurkan semua rasa sayang yang mereka miliki. Sampai akhirnya Dita melepas pelukan mereka.
"Aku lanjut belajar dulu ya, Bu."
Darti menoleh ke arah meja belajar putrinya. Darti bisa melihat beberapa buku tulis, buku cetak, dan alat tulis ada di sana.
Darti memandang Dita sebelum berkata, "Maaf ya, Ibu udah ganggu waktu belajar kamu."
Dita menggeleng. "Nggak, Ibu nggak pernah ganggu waktuku sama sekali, kok."
Darti mengelus kepala Dita sambil tersenyum sekilas. "Malam ini mau Ibu temenin nggak belajarnya?"
"Nggak usah, Bu. Ibu kan capek, jadi Ibu istirahat aja di kamar."
"Yaudah, Ibu ke kamar dulu, Ta. Kamu jangan malam-malam tidurnya, oke?" Darti bersuara.
Dita mengacungkan jempolnya. "Oke, Ibu tenang aja."
Saat Darti sudah benar-benar pergi dari kamar Dita, gadis itu menarik dan mengembuskan napas perlahan. Ada rasa lega yang menyelimuti dirinya.
Dita merasa kalau ia masih diberi keberuntungan karena Darti masih menganggap kalau kejadian mangkuk pecah itu murni kesalahan dirinya, bukan seperti kejadian yang sebenarnya—disebabkan oleh kelalaian orang lain.
Yeay, Grateful update lagi! Jangan lupa vote and comment ya, Teman--Teman!
Salam cinta,
Anak Mama yang paling cantik
KAMU SEDANG MEMBACA
Grateful
Teen FictionMasa SMA yang dijalani Dita berbeda. Gadis itu sempat lelah menjalani hari-hari di SMA Gunadarma yang begitu berat, tapi Dita bersyukur karena tidak semua orang di sekolah Gunadarma mengukir kejadian buruk di memori otaknya. Ada orang-orang baik yan...