Denira, Detina, Desniara baru saja masuk ke dalam kelas. Seperti biasa, hampir semua mata tertuju pada geng Detiara.
Bagaimana tidak? Ponsel berharga 14 juta, tas, dan sepatu dengan merek ternama yang dipakai mereka juga menjadi pusat perhatian.
"Setiap geng Detiara masuk kelas, aura mereka langsung terpancar, ya. Kelihatan banget kalo mereka orang kaya," ucap salah satu siswi yang memandang tiga gadis pentolan yang sedang berjalan dengan tatapan kagum.
"Mereka bertiga pantas dijadiin idola sekolah nggak, sih?" sahut gadis yang satu lagi—dibalas anggukan oleh manusia-manusia pemuja kekayaan yang lain.
"Mereka pernah dihukum sama Pak Danu dan Bu Diska, padahal apa yang dilakuin geng Detiara itu keren banget loh," ucap yang lain lagi.
"Mereka berkelas banget." Pujian dilontarkan oleh perempuan yang membawa topik pertama kali dan diiyakan oleh kedua teman yang memiliki sifat sama, suka membicarakan dan membandingkan kekayaan orang.
Reaksi Denira, Detina, dan Desniara ketika mendengar pujian yang dilontarkan para penggemarnya lantas senang, mereka juga tersenyum. Terselip rasa bangga di hati gadis-gadis perundung itu.
Berbeda dengan Dita, gadis itu sedang asyik membaca buku pelajaran sosiologinya, sedangkan Disha sibuk melihat ponsel, mencari apa yang menarik di sosial media. Sebenarnya Dita dan Disha memiliki kesamaan—mendengar apa yang dibicarakan orang-orang.
Tapi dua gadis itu tidak peduli selama nama mereka tidak disebut-sebut. Tapi ketenangan Dita dan Disha mulai terusik ketika mendengar nama mereka menjadi bahan pembicaraan untuk kesekian kali.
"Sepatu gue, Detina, dan Denira tuh beda dari sepatu Disha. Gue tahu, sepatu Disha harganya cuma satu juta. Kalo sepatu kita, harganya 10 juta."
Ketika Desniara mengomentari tentang sepatu yang dipakainya, Disha langsung kehilangan minat untuk memegang ponsel. Disha diam, bukan karena ia tidak ingin melawan kata-kata Desniara, tapi gadis itu sedang mengontrol tingkat kemarahannya agar tidak meledak.
"Apalagi sepatunya Dita, harganya cuma empat ratus ribu. Pasti dipakainya juga udah bertahun-tahun. Beda sama kita bertiga, setiap ada model sepatu terbaru, kita pasti beli," ucap Detina.
"Mungkin Disha emang nggak modis aja orangnya," kata Denira, "kalo Dita beda lagi, pasti karena himpitan ekonomi. Jadi orangtuanya beliin dia yang murah-murah aja."
Detina terkekeh sebelum menimpali ucapan Denira. "Orang tua Dita cuma jualan bubur ayam, wajar kalo seleranya standar, bahkan di bawah rata-rata. Jangankan 10 juta, kalo Dita pakai sepatu harga 2 juta gue juga bakal kaget."
Dita dan Disha masih tidak berniat membalas, Disha dan Dita memilih menunggu sampai tiga orang pelaku utama perundungan selesai mengoceh. Setelah mengomentari sepatu, geng Detiara beralih mengomentari tas.
"Tas gue 10 juta." Denira tersenyum. "Kalo punya Disha mungkin cuma 1 juta 500 ribu doang, murahan."
"Kalo tasnya Dita lebih murah lagi, mungkin harganya cuma 400 ribuan." Detina melihat tasnya sendiri sebelum melanjutkan kalimat. "Punya gue murah juga, sih. Cuma 7 juta."
Saat ini Dita dan Disha berdoa agar harga ponsel mereka tidak ikut dikomentari. Ternyata doa Dita dan Disha dikabulkan oleh Tuhan.
Bukan karena bel tanda pelajaran pertama akan dimulai, tapi dari suara laki-laki yang kesal mendengar ocehan geng Detiara.
"Bisa diam nggak sih kalian?" Dito menutup buku sosiologi yang sedang ia baca sebelum pria itu bangkit dan berjalan menghampiri tempat yang dekat dengan meja dan kursi yang ditempati para perundung.
"Asal kalian tahu, kegiatan kalian tuh salah tempat! Kalo mau ghibah tuh jangan di sekolah, atau kalian mau bolos biar lebih puas ngomongin orang?!"
"Apaan sih, To?" Denira memandang Disha yang juga sedang menatapnya. "Lo nggak lihat dari tadi Disha cuma main hape? Dia nggak baca atau nulis apa pun di buku!"
"Disha masih melakukan hal yang normal, dia nggak ngerugiin siapa pun. Beda sama lo dan perkumpulan lo yang norak ini, nyakitin hati orang lain doang bisanya!"
Denira diam, Dito juga diam. Mereka hanya bertukar tatapan tajam selama beberapa detik, karena itu juga suasana kelas mendadak hening sampai kontak mata antara Dito dan Denira terhenti ketika mereka mendengar bunyi kursi yang digeser.
Dito melihat ke arah kursi yang Difan tempati, ternyata kursi miliknya yang digeser. Saat ini sahabat Dito itu sudah berdiri. Melihat pemandangan tersebut, Dito pun segera melontarkan pertanyaan.
"Lo mau ke mana, Fan?"
"Manggil Bu Diska, biar pelajaran pertamanya dimulai lebih cepat. Ikhlas gue, daripada dengerin omongan sekumpulan makhluk yang nggak ada faedahnya!" Emosi Difan ikut tersulut.
"Ya kalo nggak mau dengar omongan kita. Lo, Dito, Disha, dan Dita keluar dari kelas dong. Gampang, kan?"
Difan memutar tubuh agar bisa menatap Desniara. Jujur saja, tangan Difan sudah gatal untuk memukul si mulut nyinyir. Tapi Difan masih bisa menahannya.
"Apa hak lo ngusir kita berempat, bodoh? Perlu banget ya mulai bulan depan gue, Disha, Dita, dan Dito nyetor kwitansi pembayaran SPP kita ke lo, biar lo tahu kalo kita juga bayar buat sekolah di sini?" tanya Difan.
"Sekarang gue tanya, emang kalian bertiga sepenting itu untuk dikasih kwitansi pembayaran SPP kita berempat?" timpal Dito masih dengan tatapannya yang menusuk.
Kali ini, Dito menatap Denira, Detina, dan Desniara secara bergantian dengan sorot mata yang mengejek.
Kini tiga perundung utama diam. Mereka tidak ada argumen lagi untuk menyerang Dito. Tentu saja Dito dan Difan senang pagi ini—merasakan kemenangan ketika berdebat.
Difan, pria itu tidak main-main dengan kata-katanya, ia benar-benar berjalan menuju ruang guru. Berselang sepuluh menit, Difan kembali masuk kelas, mengikuti langkah Diska di depannya.
Begitu Diska memasuki kelas, Disha dan Dita sudah takut. Sebenarnya Diska tersenyum seperti biasa, tapi mata wanita itu menatap semua murid di ruangan ini dengan tajam.
"Baik Anak-Anak. Pagi ini Ibu sudah mendengar cerita yang bagus sekali dari Difan. Kebanyakan murid di kelas ini sudah pintar sekali menghujat dan merasa lebih baik dibanding orang lain."
"Ibu bangga sekali dengan kalian, hebat pokoknya."
"Maka dari itu, hari ini Ibu akan mengadakan ulangan dadakan. Semoga otak kalian yang dipenuhi pemikiran buruk itu bisa dibanggakan ya, Nak," ucap Diska lalu beliau mengarahkan pandang kepada Denira, Desniara, dan Detina secara bergantian.
Saat Diska selesai menuliskan sepuluh soal pertama di papan tulis, wanita itu baru bisa duduk di kursi yang biasa ia tempati. Mata Diska masih terus menatap tiga pelaku utama perundungan.
Wajah tiga gadis itu terlihat panik, asumsi tersebut dibuktikan dengan keringat yang muncul di dahi Desniara, Detina, dan Denira.
"Loh, tiga orang paling pintar dan hatinya paling bersih di kelas ini kok belum mengeluarkan kertas dan pulpen?"
Tiga orang provokator perundungan itu benar-benar malu saat ini. Mereka disindir dan perhatian Diska tertuju pada dahi mereka yang berkeringat.
Berbeda dengan Dita, Dito, Disha, dan Difan. Mereka tersenyum karena empat orang itu melihat Denira, Detina, dan Desniara yang sudah jelas tidak siap dengan ulangan hari ini.
Yeay, Grateful update lagi! Jangan lupa vote and comment ya, Teman-Teman. Terima kasih!
KAMU SEDANG MEMBACA
Grateful
Teen FictionMasa SMA yang dijalani Dita berbeda. Gadis itu sempat lelah menjalani hari-hari di SMA Gunadarma yang begitu berat, tapi Dita bersyukur karena tidak semua orang di sekolah Gunadarma mengukir kejadian buruk di memori otaknya. Ada orang-orang baik yan...