13

35 21 32
                                    

Mobil Dito sudah berhenti di depan rumah Dita, pria itu melihat ada dua orang yang baru turun dari motor mereka masing-masing.

Akhirnya Dito mengikuti jejak mereka—ini sudah tepat jam enam pagi, Dito harus tepat waktu menjemput si gadis penyemangatnya.

Begitu Dito sudah berada di luar mobil, ia langsung ditatap dengan ramah oleh Dilna dan Deri. Deri melangkah menghampiri Dito lalu pria itu melengkungkan bibir ke atas. "Maaf, Mas. Kami belum buka sekarang."

"Saya sudah pesan lewat jalur orang dalam kok, Mas."

Mendengar apa yang dikatakan Dito, Dilna pun mengerutkan keningnya sebagai tanda kalau ia bingung. "Mas pesan sama siapa?"

Belum sempat Dito menjawab, dirinya sudah melihat pintu rumah Dita terbuka. Gadis itu tersenyum, tapi ia tidak langsung menghampiri Dito. Dita menggerakkan tangan, mengisyaratkan agar Dito menghampirinya.

Dito membelakkan mata, terkejut. Dito menunjuk diri sendiri, memastikan bahwa gerakan tangan itu ditunjukkan untuknya. Dita pun mengangguk untuk meyakinkan si pria pemberantas perundungan.

Setelah Dito berada di dekat Dita, pria itu dapat melihat Darti dan Darlan yang berdiri di samping Dita. Dito langsung bersalaman dan mencium tangan dua orang yang ia yakini adalah orangtua Dita.

"Assalamualaikum, Tante, Om."

"Waalaikumsalam." Darti tersenyum, tatapannya terarah pada sang putri. "Jadi ini Dito yang kamu ceritain ke Ibu, dia yang minta nomor kamu?"

Dita memang menceritakan tentang Dito yang meminta nomornya. Tapi Dita tidak menceritakan pada momen apa Dito mengatakan itu, karena jika Dita membicarakan semua. Maka pembahasannya akan jadi panjang.

Sungguh, Dita belum siap.

Dita mengangguk. "Iya, ini Dito teman aku, Bu."

"Yaudah, kalian berangkat sekarang aja. Biar sarapannya agak santai dan nggak telat ke sekolah," ucap Darlan sambil menyerahkan plastik yang sudah diikat, plastik itu berisi enam porsi bubur ayam yang akan ditenteng sang putri.

Dita menerima plastik tersebut lalu menggerakkan kepala ke atas dan bawah. "Iya, Pak."

Dita pun menyalami Darlan dan Darti, Dito juga melakukan hal yang sama untuk kedua kalinya.
"Hati-hati ya, Nak," pesan Darti.

"Semangat belajarnya," timpal Darlan.

"Iya Bu, Pak. Semangat juga jualannya hari ini," ucap gadis itu.

Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam," jawab Darti dan Darlan secara bersamaan.

Sebelum masuk ke mobil, Dita pun membuka pintu mobil belakang bagian kiri. Awalnya ia ingin masuk dan duduk di sana, tapi apa yang ingin dilakukan si gadis diurungkan karena kata-kata Dito.

"Lo duduk di depan aja, nemenin gue. Nggak usah canggung, Ta."

"Oke," jawab Dita lalu gadis itu menaruh tas sekolah di jok belakang. Sementara plastik berisi bubur di bagian bawah jok belakang. Setelah itu Dita kembali menutup pintu mobil.

Saat Dito sudah mulai menjalankan mobil, Dita mulai memikirkan satu hal. Ia sangat menyesal tidak membawakan guru-guru lain bubur ayam juga, karena yang ada di pikiran Dita hanya Diska dan Danu saja.

"Gimana sih, Ta. Lo udah tua, ya?!" Pertanyaan bernada marah ditujukkan Dita untuk diri sendiri, hal itu makin diperkuat saat sang gadis memukul jidatnya untuk melampiaskan emosi yang ada.

Dito mengarahkan pandangan ke Dita, pria itu mengembuskan napas sebelum berkata, "Lo mau cerita tentang apa yang lo pikirin sekarang nggak, Ta?"

Dita menoleh. "Gue lupa bawain bubur ayam buat guru-guru yang lain, yang gue inget waktu nyiapin semuanya cuma Pak Danu dan Bu Diska doang."

GratefulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang