"Ta, lo mau pulang bareng gue nggak?" tanya Disha ketika gadis itu sedang membereskan buku dan semua peralatan sekolahnya.
Sekarang Dita sedang memasukkan buku cetak ke dalam tas sebelum menatap Disha. "Gue mau, ayo."
Setelah selesai membereskan semuanya dan memastikan tidak ada bawaan yang tertinggal di kelas, Dita dan Disha segera meninggalkan ruangan. Mereka melangkah melintasi koridor menuju parkiran sekolah.
"Dita, tunggu sebentar!" panggil Dito yang berjalan di belakang Dita. Jarak mereka sudah terpaut jauh. Mau tidak mau, pria itu harus mempercepat langkah.
Begitu Dito sudah berada di sebelah kanan Dita, tanpa sadar tangan Dito memegang tangan si gadis. Tentu saja Dita terkejut, ia mematung untuk beberapa saat, apa yang dilakukan sang pria tidak terprediksi oleh otak Dita.
Bukan hanya Dita saja yang kaget, tapi Disha juga memasang ekspresi yang sama. Dito memegang tangan gadis penyemangatnya selama beberapa detik sebelum Dito melepasnya. Momen yang baru saja terjadi tentu membuat Dito dan Dita sama-sama canggung.
"Kenapa, To?" Ternyata Dita yang memecah rasa canggung pada dirinya sendiri.
"Maaf karena gue udah megang tangan lo " Dito menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal. "Lo mau nggak pergi sama gue nanti malam?"
"Gue izin sama Ibu dan Bapak dulu, ya? Kalo dikasih izin, mungkin gue bisanya jam setengah 8 sampai jam 9 malam. Soalnya warung bubur ayam orangtua gue baru tutup jam 7 malam."
"Oke, nanti lo kabarin gue aja," jawab Dito sambil mengangguk.
Dita belum pergi dari tempatnya berdiri, karena pikiran sang gadis memperkirakan bahwa Dito akan bicara lagi. Ternyata apa yang diprediksi oleh Dita tidak meleset.
"Gue mau pesan bubur ayam. Tolong nanti bawain, ya."
"Oke," ucap Dita.
"Tapi gue ke rumah lo pake motor, nggak apa-apa, kan?"
"Nggak apa-apa, To. Santai aja."
Setelah percakapan itu akhirnya Dito, Dita, dan Disha berjalan menuju parkiran bersama. Begitu mereka bertiga sampai parkiran, Difan baru terlihat, pria itu hendak melangkah menuju motornya.
"Difan!" panggil Dita dengan suara yang agak keras agar Difan bisa mendengarnya.
Difan yang mendengar namanya dipanggil langsung berbalik badan dan menghampiri ketiga temannya. Saat sudah dekat, Difan memandang Dita.
"Kenapa, Ta?" tanya Difan.
"Makasih ya karena lo udah manggil Bu Diska tadi, jadi mulut Denira, Detina, dan Desniara nggak makin parah ngomongnya."
"Santai aja, Ta. Lagipula, gue juga risih sama mereka, kok. Rasanya pengin gue sentil bibirnya satu-satu pake ban dalam." Difan mengarahkan pandang ke Dito. "Selain itu gue nemenin Dito juga, biar marah-marahnya nggak sendirian."
"Bisa aja lo," ucap Dito, "makasih ya atas kesetiakawanan lo."
"Iya To, kalo gitu gue balik dulu," ucap Difan lalu pria itu berbalik badan kemudian kembali melangkah menuju motornya.
Detik berikutnya Dita menatap Dito. "Makasih ya To buat tadi pagi."
"Gue juga mau ngucapin terima kasih ke lo, To. Setidaknya seperempat kemarahan gue ke geng norak udah terlampiaskan sama lo," timpal Disha.
Dito mengacungkan jempol. "Sama-sama Dita, Disha. Gue juga senang karena udah bantu kalian."
"Ya udah, kalo gitu gue sama Dita balik dulu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Grateful
Teen FictionMasa SMA yang dijalani Dita berbeda. Gadis itu sempat lelah menjalani hari-hari di SMA Gunadarma yang begitu berat, tapi Dita bersyukur karena tidak semua orang di sekolah Gunadarma mengukir kejadian buruk di memori otaknya. Ada orang-orang baik yan...