Dita baru saja masuk area SMA Gunadarma. Dita melihat Disha yang turun dari mobilnya saat ia lewat di area parkir. Tanpa menunggu waktu lebih lama, gadis itu segera berjalan ke tempat sang teman berdiri saat ini.
"Hai, Sha," sapanya.
Disha yang baru menyadari akan kehadiran Dita segera menoleh, gadis itu tersenyum lalu menggandeng lengan Dita.
Mereka berdua mulai berjalan, Disha memulai pembicaraan agar perjalanan menuju koridor sekolah tidak sepi.
"Kata Mama gue, bubur ayam buatan orangtua lo enak banget. Beliau juga berterima kasih, karena keluarga lo udah ngasih salah satu makanan terenak menurut Papa dan Mama gue waktu gue main ke rumah lo waktu itu."
Disha tersenyum. "Sebenarnya menurut gue juga, sih."
Hati Dita menghangat ketika mendengar penuturan Disha. "Makasih ya, Sha. Titip salam buat orangtua lo, kalau lo pulang nanti. Tolong sampaikan, ya."
Disha mengangguk. "Oke."
Kini Dita dan Disha sudah meninggalkan parkiran—mereka sudah melangkah melintasi koridor. Kening Disha berkerut ketika ia menyadari tatapan para siswa dan siswi yang sinis kepadanya.
Tapi setelah dianalisis oleh otak Disha, semua tatapan orang-orang itu tidak terarah pada dirinya, justru Dita adalah orang yang menjadi pusat perhatian.
Secara perlahan, rasa penasaran Dita dan Disha muncul. Detik berikutnya, Dita menoleh ke arah Disha. "Kita ke sana yuk."
Begitu mendapat persetujuan dari Disha, mereka langsung berjalan dan menyibak kerumunan semua orang agar Dita dan Disha bisa melihat dengan jelas, mereka berdua ingin apa tahu yang terpampang di mading tersebut.
Sekarang Dita tahu penyebab sikap aneh semua murid SMA Gunadarma, sehingga semua orang melayangkan tatapan sinis padanya.
Dita sempat terkejut, tapi sekarang berbagai pertanyaan mulai muncul di otak Dita, begitu banyak sampai dirinya bingung karena tidak mendapat jawaban satu pun.
Ada satu pertanyaan yang paling besar di pikiran Dita. Apa salahnya berjualan bubur ayam?
Dita mematung di tempat. Jujur saja, Dita tidak menyimpan kemarahan kepada siapa pun. Tapi Dita dapat mengakui satu perasaan yang memeluknya saat ini. Kesedihan. Dita tidak menyangka, kesedihan akan memeluknya dengan kencang seperti ini.
Efek negatif yang ditimbulkan begitu hebat, Dita sampai tidak bisa mendengar apa pun. Gadis itu terlalu sibuk memikirkan cara melepaskan diri dari rasa yang sangat menyebalkan ini. Sebenarnya Dita sudah tahu, dirinya tidak boleh begini.
Saat Dita sudah bisa melonggarkan pelukan si sedih, ada suara yang sudah bisa Dita dengar. Dari banyaknya suara orang yang berbisik-bisik membicarakannya, ternyata ada satu orang yang bertanya padanya.
Dita senang, karena pertanyaan itu tidak mengandung kata-kata yang bisa membuatnya lebih rapuh lagi.
"Gue mau pesan bubur ayam, boleh minta nomor lo nggak?"
Telinga Dita menyadari suara yang ia dengar bukanlah milik Disha, Denira, Detina, atau Desniara. Orang yang bicara itu adalah laki-laki. Dita membalikkan tubuh agar bisa melihat siapa yang melontarkan pertanyaan padanya.
Pandangan Dita tidak lepas dari pria yang sekarang berjalan menghampirinya. Setelah jarak Dita dan pria itu lebih dekat, sang pria tersenyum. "Tapi gue dan teman gue bantuin teman lo lepasin foto-foto yang ada di mading dulu, ya."
Dita hanya mengangguk sebagai jawaban.
###
Dita berhenti melangkahkan kaki karena ia merasa diperhatikan oleh Disha, gadis itu menoleh ke arah Disha sebelum melempar tanya, "Lagi mikirin apa, Sha?"
Bukannya menjawab dengan kalimat yang bisa menghapus pertanyaan yang ada di pikiran, Disha justru mengajukan pertanyaan lain. "Lo masih sedih nggak karena kejadian tadi pagi?"
"Gue udah lebih baik, kok."
"Kalo gitu, hari ini kita duduk bareng dua laki-laki yang bantuin gue copotin foto-foto lo yang disebarin sama geng norak yuk. Lo mau nggak?"
Dita berpikir sejenak. Hanya butuh satu menit untuk Dita memutuskan, gadis itu menggeleng. "Gue nggak mau, Sha. Kita aja belum terlalu kenal sama mereka berdua."
Disha menjentikkan jari. "Justru itu, lo harus berteman sama mereka juga, hitung-hitung sebagai ucapan terima kasih."
"Gue bakal temenin lo, kok. Tenang aja."
Setelah Dita menimbang di antara keraguan dan niat baik, akhirnya Dita mengangguk, karena niat baik yang jadi pemenangnya. "Yaudah, oke."
Dita dapat melihat kalau Disha benar-benar semangat mencari tempat di mana dua pria itu duduk.
Begitu ketemu, Disha langsung menarik lengan Dita dengan agak kencang, sampai Dita harus mengeratkan pegangan pada tas bekal yang ia bawa.
Saat sudah menemukan meja tempat dua orang pria yang membantunya tadi, Disha langsung melontarkan pertanyaan. "Kita boleh duduk di sini nggak?"
Dua pria itu menoleh, salah satu dari mereka berdiri, dia tampak gugup. "Boleh," ucapnya pelan.
"Gue mau pesan bakso dan beli es teh tawar." Disha menatap Dita sebelum melanjutkan kalimat. "Lo mau beli apa, Ta?"
Dita mengeluarkan uang lima ribu dari saku seragamnya. "Tolong beliin es teh, Sha."
"Oke," jawab Disha.
Dita mulai mengeluarkan kotak makan dan sendok dari tas bekal yang ia bawa. Tapi gadis itu tidak langsung mulai menyantap makanannya, Dita ingin berkenalan dengan dua pria di hadapannya terlebih dahulu.
"Nama gue Dita Aliani Prasetyo, nama kalian siapa?"
Salah satu dari dua pria itu mengulurkan tangan. "Kenalin, nama gue Difan Aftian."
Dita menjabat tangan Difan sebentar, lalu pandangan gadis itu beralih pada pria yang duduk di samping Difan.
Sadar kalau dirinya diperhatikan, pria itu segera mengulurkan tangan sambil tersenyum. "Nama gue Dito Kafindra Hardinata."
"Dita Aliani Prasetyo," jawab gadis itu. Dita makan siang dengan perasaan canggung, ia terus berharap agar Disha cepat kembali.
Saat Disha sudah duduk di sampingnya, barulah Dita bisa agak leluasa. Disha juga sudah berkenalan dengan Dito dan Difan.
Sekarang Dita ingin mengucapkan terima kasih kepada tiga orang yang menolongnya karena pagi tadi Dita belum sempat mengatakannya.
''Makasih ya Disha, Dito, dan Difan. Karena kalian udah bantuin gue."
"Sama-sama Ta, kita juga senang karena ngelihat lo udah baikan sekarang," ucap Dito, "maaf karena lo harus ditatap dengan sinis tadi sama orang-orang jahat di sekolah ini."
Dita terdiam sejenak begitu mendengar ucapan Dito. Jujur saja, Dita tidak tahu harus membalas ucapan Dito dengan kalimat seperti apa. Satu hal yang bisa ia lakukan saat ini adalah, mengangguk. Hanya itu.
Dito memotong bakso lalu ia memasukkan makanan itu ke mulutnya. Begitu bakso yang ia kunyah sudah tertelan. Dito langsung menatap Disha untuk mengajukan satu pertanyaan.
"Bubur yang dijual orangtuanya Dita berapa harganya?"
"13.000."
"Gue serius mau beli bubur ayam, Ta, tapi lo lupa ngasih nomor telepon lo ke gue," ucap Dito saat beralih menatap Dita.
"Oh iya." Dita merogoh saku rok untuk mengambil ponsel. "Berapa nomor lo?"
Beberapa menit kemudian, kontak di ponsel Dita dan Dito sudah bertambah satu. Dito pun mengantongi ponselnya di saku celana kemudian pria itu berkata, "Makasih, Ta."
Dita tersenyum. "Sama-sama, Dito."
.
Yeay, Grateful update lagi! Jangan lupa vote and comment ya, Teman--Teman!Salam cinta,
Anak Mama yang paling cantik
KAMU SEDANG MEMBACA
Grateful
Teen FictionMasa SMA yang dijalani Dita berbeda. Gadis itu sempat lelah menjalani hari-hari di SMA Gunadarma yang begitu berat, tapi Dita bersyukur karena tidak semua orang di sekolah Gunadarma mengukir kejadian buruk di memori otaknya. Ada orang-orang baik yan...