19

9 6 3
                                    

"Tadi malam gue ngobrol sama Papa dan Mama gue, kita bahas soal Denira, Detina, dan Desniara," ucap Disha ketika dirinya dan Dita sudah duduk di mobil untuk menuju ke sekolah.

Tadinya Dita sempat mengira kalau Disha akan membahas tentang Dito, ternyata pemikirannya meleset jauh.

"Lo ngobrolin soal apa?"

"Intinya, Papa gue mau nanyain ke papanya Desniara, Detina, dan Denira. Papa gue pengin tahu, apa orangtua mereka bertiga yang beliin barang-barang mewah punya mereka atau nggak."

"Mama gue juga heran, karena Mama gue juga tahu gaji Papa Denira, Detina, dan Desniara berapa. Tiga orang masing-masing 25 juta. Masa orangtua mereka kompak hidup pas-pasan demi nurutin kesenangan anaknya?"

"Menurut gue ini nggak masuk akal, Ta."

Dita menghela dan mengembuskan napas pelan. "Lo nggak pikirin efek jeleknya, Sha? Gue nggak mau bikin Denira, Detina, dan Desniara ribut sama orangtua mereka."

"Gue juga nggak mau kita berdua ribut sama geng Detiara. Nanti kalo udah ribut, gue sama lo bakal nyesel banget, karena cara mereka tuh balas dendam, Sha."

"Sampai sekarang aja mereka masih cari masalah sama gue, padahal dari awal mereka yang salah." Dita memandang jendela mobil. "Gue nggak mau cari ribut duluan "

Disha menoleh ke Dita untuk beberapa detik lalu ia berkata, "Kalo lo begini terus, bukan lo lagi yang ribut sama Denira, Detina, dan Desniara. Tapi orangtua lo yang ribut sama Mama dan Papa mereka."

"Lo tuh korban, Dita. Jangankan orangtua lo. Gue, Difan, apalagi Dito. Kita nggak rela kalo lo ditindas."

"Lo terima bantuan dari Papa gue, ya? Lagi pula, ini buat kebaikan lo juga, Ta.'

Dita butuh beberapa detik hingga akhirnya ia mengangguk. "Iya deh, tapi gue sama lo tetap aman, kan?"

"Nah, gitu dong, ini baru teman gue." Disha melengkungkan bibirnya ke atas. "Tenang aja, gue sama lo aman, kok. Papa gue cuma nanya dari mana Desniara, Denira, dan Detina dapat barang-barang itu."

Tidak ada percakapan lagi di antara Dita dan Disha sampai mobil milik Disha berhenti di parkiran sekolah. Dita memberikan tas milik sang teman yang diletakkan di dekat kakinya.

"Makasih," ucap Disha.

"Sama-sama," jawab Dita.

Detik berikutnya Dita mengambil tasnya sendiri yang berada di jok belakang lalu dua gadis itu membuka pintu mobil dan keluar dalam waktu yang hampir bersamaan.

"Kok nggak malu ya, Dita numpang di mobil Disha?"

"Maklum, Dita kan uangnya pas-pasan, ya pasti dia milih yang gratis. Tapi Disha kok mau banget gitu jemput Dita? Pasti kan rumah mereka jaraknya nggak dekat."

"Kalo gue jadi Dita sih, gue nggak bakalan minta jemput ke teman gue."

Begitulah obrolan orang-orang yang ada di sekolah saat Dita lewat di dekat mereka, rasanya ingin sekali Dita menutup telinga dengan kedua tangan, tapi sang gadis mengurungkan niatnya itu. Dita tidak mau dianggap berlebihan dan ia tidak mau menghadirkan topik baru yang akan menjadi buah bibir pagi ini.

Satu hal yang bisa Dita lakukan saat ini adalah, berusaha untuk tetap menatap ke depan. Dita tidak boleh menunduk berarti Dita merelakan dirinya menjadi bahan tertawaan.

"Lo harus ingat, geng norak yang dielu-elukan mereka selama ini kalo berangkat sekolah pakai satu mobil, kok. Berarti ada dua orang di antara mereka yang numpang."

Dita menoleh ke arah Disha yang tiba-tiba membisikkan kalimat panjang padanya apa yang membuat perasaan Dita menjadi lebih baik, walaupun belum sepenuhnya kembali normal.

GratefulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang