"Bisa-bisanya kalian memukul seorang omega!"
Sayup-sayup suara itu terdengar di telinganya, sangat asing, Hyungseok tahu itu bukan suara dari salah satu temannya."Jangan nuduh sembarangan, Hyungseok itu temenku! Mana mungkin aku yang mukul dia!"
Itu suara Zin, mendengar suara itu dia ingin sekali membuka matanya."Aku suka Hyungseok! Aku nggak bakal pukul dia kecuali pas main di ranjang!"
Menyebalkan, Hyungseok tahu suara siapa itu."Bangsat, ngomong apa kamu! Sini biar kamu aja yang kupukul!"
Zin kembali memukul Hobin karena tak terima temannya menjadi objek imajinasi tak senonoh dari bajingan kelas Vocal and Dance itu tapi bajingan lain menghalanginya."Kalo kalian nggak mukul dia, kenapa dia pingsan? Apa Hyungseok lagi sakit?"
"Ziiinn~"
Suara Hyungseok mengalihkan atensi semua orang padanya, Zin mendorong kedua orang tadi agar dia dapat mendekat pada Hyungseok."Minum" ucap Hyungseok dengan lirih hampir tak terdengar.
"Sebentar ya"
Hyungseok mengangguk, dengan cekatan Zin membuka tutup botol air mineral yang sejak tadi dibawanya lalu dia mendekap tubuh omega itu untuk membantunya minum. Hobin hendak mendekati mereka tapi kerah seragamnya ditarik dari belakang oleh seseorang, dia meronta tak terima."Apa sih?! Aku juga mau nemenin Hyungseok"
Hobin berusaha melepaskan dirinya dari lelaki itu, sayang dia lebih kuat darinya. Sekuat apapun Hobin meronta, genggaman orang itu tak melonggar sedikitpun."Keluar atau kupukul kamu!"
Hobin bergidik mendengar itu, dia membayangkan rasa sakit yang akan dia terima jika tubuhnya menerima pukulan dari orang itu. Tak lama setelah mereka berdua keluar, bel jam makan siang berbunyi, Hyungseok terkejut dia sudah tak sadar lebih lama dari yang dia kira. Dia menatap Zin yang masih duduk disamping ranjang ruang kesehatan, alpha itu masih menggenggam jemarinya. Dia ingin meminta maaf karena dirinya sudah menahan lelaki itu untuk menemaninya disini tapi tampaknya Zin menjadikannya alasan untuk membolos dan menghindar dari kemarahan Mijin."Maaf, aku nggak nyadar lebih awal"
Zin terlihat menyesal, dia lebih memilih melampiaskan emosinya dibanding memperhatikan Hyungseok. Dia bahkan tidak tahu sejak kapan omega itu tergeletak disana, sampai akhirnya salah satu siswa kelas Arsitektur melerai mereka dan membawa Hyungseok ke ruang kesehatan. Zin sempat melihat jejak air mata yang telah mengering di setiap sudut mata Hyungseok, dia bertanya tanya sesakit apa yang dirasakan omega itu sampai dirinya menangis."Masih sakit?"
Alpha itu bertanya dengan nada lembut, Hyungseok tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Zin membawa tangan kanannya menyentuh dahi Hyungseok, dia terpejam merasakan dinginnya telapak tangan dari sang alpha.
"Pusing?"
Hyungseok kembali menggeleng, dia dapat melihat dahi lelaki itu perlahan berkerut sambil memandangnya heran."Yakin? Terus kenapa kamu pingsan tadi?" tanyanya.
"Ah... Aku emang lagi nggak enak badan, terus tadi juga aku capek abis pelajaran olahraga. Ya gitu deh tapi sekarang udah nggak papa, tadi aku udah cukup istirahat"
Hyungseok terpaksa berbohong, dia tak tahu bagaimana caranya menjelaskan pada Zin soal rasa sakitnya yang datang dan pergi itu adalah tanda dari soulmatenya. Dia tahu, kebanyakan orang sudah mulai meninggalkan kepercayaan tentang pasangan yang telah ditakdirkan sebab itu terdengar kuno dan tak masuk akal. Disisi lain Hyungseok ingin mempercayai ibunya, wanita itu mengatakan dia bisa lebih bahagia jika berhasil bertemu dengan belahan jiwanya yang telah ditakdirkan daripada hidup bersama cinta semu yang entah kapan akan memudar."Kalo nggak enak badan harusnya kamu nggak usah ikut jam pelajaran olahraga tadi"
"Zin, kalo kamu mau pergi boleh kok. Aku nggak papa ditinggal"
"Malas, lagipula aku udah suruh orang lain buat bawain makanan kesini" jawab Zin dengan malas "aku juga ngantuk, mending tidur disini aja"
Hyungseok menatap lelah lelaki itu, benar dugaannya bahwa Zin memang berniat membolos.Hyungseok masih memikirkan kejadian tadi, sudah lama sejak terakhir kali dia merasakan sakit seperti itu. Mungkin setahun yang lalu, entahlah yang jelas dia tak lagi merasakan itu sejak dirinya berada di tahun terakhir masa SMPnya. Hal seperti itu muncul pertama kali saat dirinya berusia dua belas tahun, saat itu ibunya sangat panik ketika dia melihat anaknya tiba-tiba mengaduh kesakitan tanpa alasan yang jelas.
Hal serupa terus terjadi, sampai ibunya semakin yakin jika sakit itu berasal dari belahan jiwa anaknya. Hyungseok tak setuju, bagaimanapun itu sangat tak masuk akal, terlebih lagi mengapa mereka harus berbagi penderitaan disaat mereka bahkan belum pernah bertemu.
Hyungseok diberitahu ibunya jika Semesta punya cara tersendiri untuk menuntunnya menemukan takdir, meski caranya benar-benar menyiksa dia berusaha mempercayai itu. Terkadang dia memikirkan soal kemungkinan pasangannya adalah seorang atlet beladiri, bisa jadi dia mungkin seseorang yang bekerja untuk melindungi, atau lebih buruknya dia hanya seorang bajingan yang hanya tau cara bartarung. Untuk yang terakhir dia tak ingin membayangkannya tapi dia belum tahu harus berlaku apa jika kebenarannya demikian.
Pikiranya berputar tak menentu, dia mengingat kembali sambil mencari pentunjuk yang dapat membantu jika memang rasa sakit itu dapat menuntunnya. Dirinya kembali mengingat rasa sakit itu kembali muncul bersamaan dengan waktu Zin dan Hobin berkelahi, Hyungseok merenung akan kemungkinan matenya adalah salah satu dari mereka berdua. Tapi jika yang dikatakan Hobin soal Zin yang ditinggalkan oleh soulmatenya itu benar membuatnya sedikit takut, memikirkan bahwa bajingan mesum seperti Jin Hobin yang akan menjadi pasangannya kelak membuat bayangan akan masa depannya mendadak suram.
Hyungseok menggelengkan kepalanya, dia berusaha menghilangkan asumsi tak berdasar dari pikirannya. Dia harus mencari bukti nyata untuk memastikan itu semua, suatu hari nanti dia pasti akan menemukan soulmatenya seperti yang ibunya harapkan.
Hyungseok kembali menggosok rambutnya dengan sampo, dia melanjutkan kegiatannya yang terhenti saat melamun tadi. Sepulang sekolah tadi dia terkejut akan kehadiran teman kakaknya yang tiba-tiba muncul di depan gerbang sekolah untuk menjemputnya, dia bahkan tak tahu jika pria itu sudah menyelesaikan urusan bisnisnya di Busan. Sekarang dia sedang membersihkan diri untuk bersiap pergi sebab Jungoo mengajaknya makan malam di luar.
Dia sempat menanyakan alasan ketidak hadiran Jonggun malam ini, tak biasanya pria itu terlambat pulang tanpa pemberitahuan sebelumnya. Bahkan saat dirinya bertanya pada Jungoo, teman kakaknya itu hanya mengangkat bahu tak tahu. Tapi dibalik itu semua, tanpa sepengetahuan Hyungseok, hal ini sudah diperhitungkan oleh Jungoo.
Pria itu dengan sengaja mengarahkan semua serangannya pada wajah Jonggun saat mereka bertengkar tadi pagi, dengan begitu dia tak akan mengganggu kebersamaannya dengan Hyungseok. Jungoo tahu dengan pasti Jonggun tidak akan muncul di depan Hyungseok malam ini atau setidaknya sampai memar di wajahnya memudar karena Jonggun tidak ingin menunjukkan bahwa dirinya terluka dan membuat Hyungseok khawatir. Selama itu pula Jungoo akan memonopoli Hyungseok untuk kesenangan dirinya sendiri, pria itu sudah merencanakan hal apa saja yang akan mereka lakukan sampai Jonggun kembali.
-_-
Heyoo! Aku mau ngucapin makasih buat yang mau mampir kesini💕
Setelah aku baca lagi ternyata masih banyak typo dan ada beberapa bagian yang cringe juga menurutku hahahah...(sedang menahan diri untuk tidak merombak keseluruhan cerita)
Sebenernya sebelum publish cerita aku suka maju mundur mikir lagi buat publish atau nggaknya sambil aku baca ulang lagi, aku paham masih banyak kekurangan, makanya aku nggak akan bosen buat ngucapin makasih ke kalian yang masih mau baca ini... Pokoknya lopyu❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
CAROUSEL
FanfictionHyungseok selalu mengingat nasihat ibunya yang mengatakan bahwa dirinya harus menjaga dan merawat tubuhnya dengan baik sebab di tempat yang jauh itu, belahan jiwanya dapat merasakan sakit yang dia terima. Hyungseok selalu menanti saat dimana dirinya...