005

226 21 0
                                    

"Katakan pada Jenderal Nala kalau Bhre Wirabhumi hendak mengambil kembali wanita yang telah ditentukan mendiang Maharaja untuknya. Tanyakan padanya, apa Jenderal Nala tidak lagi menghormati Yang Mulia Maharaja Bhumi Maja yang pertama?"

Weiki —ajudan Bhre Wirabhumi menyampaikan perkataan sang tuan tanpa menambah atau mengurangi kalimatnya.

Prajurit yang berwajah sangar seketika pias mendengarnya.

Wanita itu menghilang.

Siang ini saat para prajurit diperintahkan untuk memberikan hasil buruan pada wanita Jenderal —atas titah Jenderal— untuk menentukan siapa yang berhak mendapat jatah libur pada pekan ini, mereka tak menemukan wanita itu di sekitar markas.

Tiba-tiba saja datang kelompok prajurit Bhre Wirabhumi kala mereka masih dalam tahap pencarian.

Dia —sang prajurit— menyambut prajurit musuh dengan galak di perbatasan pemukiman, yang jauh dari markas.

Siapa menyangka pria ini datang untuk melaksanakan titah mendiang Maharaja sebelumnya?

Siapa yang tak kenal Pria Agung itu?

Pria yang menyatukan seluruh kepulauan.

Tidak ada orang yang tidak menghormatinya.

Termasuk dirinya.

"Bukankah Bhre Wirabhumi sudah melanggar titah Yang Mulia Maharaja? Begitu banyaknya dosa anak budak itu," cemooh prajurit Jenderal Nala.

Masih teringat dalam benaknya, Bhre Wirabhumi sangat lantang menyuarakan penolakan atas pernikahan yang telah ditentukan Maharaja sebelumnya.

Dalam pesta pernikahan yang digelar oleh Maharatu Yang Mulia, Bhre Wirabhumi malah membawa Nagarawardhani naik ke atas pelaminan.

Di hari yang seharusnya bahagia itu, Bhre Wirabhumi menyuarakan isi hatinya jikalau yang berhak mengambil alih tahta adalah seorang pria yang kuat, bukannya wanita yang banyak memakai perasaan.

Leher Maharatu hampir saja terpenggal andaikan tiada Penyihir Agung di sisinya.

Pria berbakat yang kini dalam kendali Bhre Wirabhumi.

"Anak budak yang penuh dosa," ejek bawahan Jenderal Nala.

Darah prajurit Bhre Wirabhumi tergelak mendengar ucapan lawannya.

Tanpa melihat tempat, pria itu menyerang orang yang mencemooh tuannya.

Lima orang yang datang bersamanya akhirnya diringkus.

Mereka diborgol pada kayu-kayu yang menggantung di langit sel penjara.

Di sebuah gubuk reyot —hampir tak memiliki atap, sepasang mata yang tertutup bergerak gelisah.

Dia sudah bangun. Namun lagi-lagi tak mampu membuka kedua matanya.

Tubuhnya seberat batu.

Tidak ada sedikit pun yang bergerak.

Samar telinganya mendengar langkah kaki yang menjauh.

Raga yang seolah mati itu, tergeletak tak berdaya di tengah hutan.

Sendirian.

Dari dalam kegelapan hutan di siang bolong, tampak sepasang mata bersinar terang.

Menatap tajam gubuk reyot itu.

Samar, dia merasakan aura yang sangat amat dia kenali.

Namun bisa jadi itu hanya sebuah jebakan.

Selayaknya yang sering terjadi.

ArdhanareswariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang