011

99 18 0
                                    

Sugiarti dan pasukannya beristirahat di tengah perjalanan.

Wanita itu tertidur tanpa ada satu pun kewaspadaan dalam dirinya.

Seolah tiada rasa takut dalam dirinya.

"Dasar..."

Mahisa Kingkin terkikik melihatnya.

Baru kali ini dia mendapati wanita tanpa rasa takut.

Tapi dia merasa lega.

Nama - nama yang diusulkannya tidak bersikap mengecewakan di depan sang tuan baru.

Mereka tidak membicarakan ketua dalam perjalanan kali ini.

Padahal Mahisa sangat tahu, sebagian prajurit ada juga yang berkata kotor tentang majikan mereka.

Dia yakin semuanya aman, karena ada juga para ksatria yang berbudi luhur.

Tapi...

APA INI??!

Lorong gua menyempit.

Wajah Mahisa tertabrak bagian tubuh Sugiarti —yang tiba - tiba berhenti di depannya.

Dia jadi teringat bertahun lalu, ketika masih sangat muda dan membara.

Hampir saja dia menghabiskan seluruh tabungan yang dikumpulkan keluarganya, hanya demi memenangkan ego dari kawan - kawannya.

Namun beruntung, saat itu dia kalah dalam lelang malam sang bunga rumah bordil.

Wanita yang ada di depannya.

Sudah setengah hari mereka berada di kedalaman bumi, mengapa wanita ini justru bertambah manis aroma tubuhnya?

Mahisa merasakan panas membara dari sekujur tubuhnya.

Sugiarti mendadak berhenti karena lorong terus mempersempit geraknya.

Cunduk mentul yang ada di kepalanya, tak muat pada baris lorong terakhir.

Sugiarti sempat terdiam.

Menimang haruskah dia copot semua hiasan di kepalanya dan menjadi benar - benar tanpa kekuatan?

Dia masih belum bisa mengumpulkan kekuatan kanuragan ataupun sihir.

Lagipula anak buahnya, semua sudah percaya padanya.

Ratusan rintangan dan jebakan telah terlewat bersama.

Kepercayaan telah terbangun.

Sugiarti bisa merasa aman ketika melepas senjata di kepalanya.

Satu persatu cunduk mentul ia lepaskan dari kondenya.

Dia simpan seluruh cunduk mentul di dalam tas yang menggantung di dadanya.

Merangkulnya dengan erat.

Dia yang pertama keluar dari lorong itu.

Memasuki ruang yang begitu luas.

Sugiarti tersenyum puas.

Tiada yang berubah dari tempar ini.

Ini adalah ruang bawah tanah, sekaligus ruang penyimpanan Penyihir Agung sebelumnya.

Suaminya yang ketiga.

Penyihir Agung yang pertama, Candra Ekadanta.

"Wow. Ini ... apa ruang penyimpanan Penyihir Agung yang dirumorkan? Begitu besar dan lengkap," kagum salah seorang prajurit.

"Ehem!" dehem ksatria.

Memperingati sang jelata supaya tidak bertindak kampungan.

Meski dia juga terpukau dengan isian di dalam tempat penyimpanan ini.

ArdhanareswariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang