019

66 8 0
                                    

"Nyonya, jangan mati dulu! Hanya Anda yang bisa mengendalikan Penyihir Agung!!! Beliau sedang dalam masa linglung!"

Ksatria Galih sudah bisa melepas sedikit belitan kekuatan yang mengungkung tubuhnya.

Sugiarti mengacungkan jempolnya.

Pria itu sangat patut dijuluki seorang Ksatria, mampu melawan tekanan batin murid Petapa Agung.

Ksatria Galih merutuki kekuatan ghaib menekan, yang belum pernah dia rasakan.

Tenggorokannya bagai akan terlepas dari tubuh saat dia berteriak begitu lantang.

"NYONYAAAAAAAAAAA....!!!!!"

Sugiarti begitu tenang kala menempelkan kening pada batuan di depannya.

Dia sama sekali tidak bergerak ketika cahaya yang menyilaukan mata, muncul, bagai melahapnya.

Sugiarti tersenyum kepada benda di tangannya. Mirip sebuah patahan keramik.

Hidungnya yang tajam merasakan semilir angin menampar bulu hidungnya.

Aroma yang menemani hari-harinya belakangan, terhidu.

Aroma amis yang kental.

Di belakangnya berdiri sosok pria berlumuran darah dari ujung kepala hingga ujung kaki.

Sugiarti membeliak.

Buru-buru dia patahkan keramik di tangannya dan memasukkannya ke dalam mulut Ksatria Galih, yang sudah tak sadarkan diri di tanah.

Untung tak ada orang di sana.

Kalau tidak, seseorang mungkin berpikir jika Sugiarti sedang mencoba melakukan pembunuhan.

Mata Sugiarti tak beranjak dari dada bidang Ksatria Galih.

Bukan mesum. Sugiarti memastikan deru napas dan jantung Ksatria Galih berangsur tenang.

Sugiarti merutuki dirinya sendiri.

Lupa jika orang lain tak mungkin sekuat suami-suaminya atau Petapa Agung dan kakak seperguruan dirinya, Ekata Ekadanta.

Setelah memastikan bongkahan kekuatan serupa keramik itu mulai meresap ke dalam tubuh Ksatria Galih, Sugiarti membawa Ksatria Galih dengan menggendongnya di bagian belakang tubuh.

Sedikit menyeret karena rupanya tubuh Ksatria Galih begitu berat.

Saat memasuki markas, Jenderal Arya sudah menunggu dan sigap membawa tabib dari desa terdekat.

Jenderal Arya sudah memperkirakan hal ini.

Pasti ada sesuatu yang akan terjadi!

Pastilah Ksatria Galih akan melindungi dengan segenap jiwa.

Anak buah Jenderal Arya segera mengambil alih raga Ksatria Galih.

Sementara Jenderal Arya mendekati perempuan yang terus menerus dipanggil Nyonya oleh utusan Tuannya.

"Anda tidak apa?" tanya Jenderal Arya dengan serius.

Penasaran dengan yang sebenarnya terjadi.

Mengapa dalam kurun waktu sebentar, ksatria besar seperti Ksatria Galih tergolek lemah?

Apa yang sebenarnya dicari wanita ini?

"Tidak apa. Ksatria Galih pun tidak apa. Di mana Penyihir Agung?"

Sugiarti mengerti akan rasa penasaran Jenderal Arya yang tidak ditutup-tutupi olehnya.

Tapi Sugiarti malas menjelaskan.

ArdhanareswariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang