Debt collector

517 48 3
                                    

"Hutang apa lagi, Mas!" Aku bertanya penuh penekanan, pasalnya kali ini aku mendapat teror telepon dan WA dari aplikasi pinjol yang membuat ku susah berkegiatan karena terus dirongrong telpon masuk.

Sudah satu bulan hal ini terjadi, dan aku terus mencecar suamiku, meminta penjelasan kepadanya. Tetapi, ia terus memgelak dan hanya beralasan jika bukan dia yang meminjam. Lalu siapa?!

"Mas Adam, kasih tau aku yang sejujurnya. Jelas-jelas penagih utang itu bilangnya nama kamu. Adam Khalendra. Siapa lagi yang punya nama itu selain kamu!" kataku tegas. Aku kesal, suamiku terus mengelak dan mengelak.

"Aku kerja dulu, abaikan aja kalau ada telpon atau WA. Assalamualaikum," pamitnya.

"Waalaikumsalam," jawabku dengan helaan napas panjang seluas dada. Bayangkan, bagaimana jadi aku yang bingung. Rasanya aku harus mencari tau sendiri.

"Ibu, ini ada surat edaran dari sekolah. Katanya semua harus ikut," ucap Rako, anakku yang pertama, ia kini sudah kelas lima SD, sebentar lagi mau masuk SMP, ah ... tidak terasa aku akan memiliki anak remaja.

"Lho... kok diminta uang lagi?" kataku sambil membaca selembaran kertas di tanganku.

"Mana aku tau, Bu." Rako segera menuju teras rumah, hendak memakai sepatu. Tak lama terdengar suara Kikan, anakku yang kedua memanggil karena seragam sekolahnya tidak ada di atas ranjang.

"Kikan, coba belajar ambil sendiri, ya, Nak. Kamu udah kelas dua SD, masa apa-apa Ibu yang siapin," kataku sambil tetap saja membuk pintu lemari pakaian.

"Enakkan disiapin, Bu, jadi aku tinggal pakai." Kikan memang selalu menjawab pertanyaanku, ia tidak mau kalah soal mengutarakan pendapat.

"Kikan, kamu belajar mandiri, dong, jangan mau enak aja. Lihat tuh Abang, udah mulai bisa Ibu suruh beli ini itu ke minimarket."

"Itu kan, Abang, Bu, bukan aku." Dasar anak kecil, jawab aja kalau di kasih tau.

Setiap pagi kegiatanku menjadi ibu rumah tangga, sama saja dengan kebanyakan ibu lainnya. Tak jarang aku bahkan sibuk membantu urusan kegiatan PKK di komplek tempatku tinggal.

Namun, yang terjadi beberapa bulan ini, tepatnya satu bulan kebelakang. Entah mengapa aku merasakan ada yang aneh dengan sikap suamiku.

Aku memang tidak bekerja, setiap bulan selama menikah sebelas tahun dengan suamiku, dia yang memberikan nafkah materi sesuai kewajibannya.

Kami tinggal di perumahan biasa saja tapi bangunannya besar dan tingkat dengan mencicil selama lima belas tahun, tapi rumah ini baru kami tempati lima tahun kebelakang, sebelumnya numpang di pondok mertua indah.

Rumah tangga kami terbilang adem ayem, Mas Adam dan aku dulu kenal dari teman satu komunitas. Kami sama-sama berada di komunitas sekolah anak. Back ground kami yang lulusan sarjana pendidikan, membuat jiwa kami sebagai guru terpanggil untuk mengajar.

Sayang, profesi guru kami tinggalkan karena Mas Adam memilih melanjutkan usaha keluarga, perusahaan cukup besar dan sukses, sedangkan aku, ya ... ibu rumah tangga biasa.

Hidup kami terbilang cukup, bahkan lebih walau tidak mewah. Aku tidak suka terlihat mencolok karena punya ini dan itu. Mas Adam mendirikan kantor dengan nama PT keluarganya, ia menjabat sebagai pemimpin dan adiknya bagian keuangan. Kedua mertuaku, orang tua Mas Adam hanya sesekali memantau.

Omset bisnis kami terbilang luar biasa, karena pemasaran sudah ke nusantara juga asia tenggara. Aku bahkan bersyukur kami bisa memiliki satu kendaraan untuk mobilitas.

"Bu, jadi gimana? Aku ikut acara sekolah?" tanya Rako.

"Iya, ikut. Nanti Ibu transfer bayarannya. Ojeknya udah dateng, 'kan?"

Terjebak kebohongan Suami ✔ (Sudah TAMAT di KBM Atau KARYAKARSA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang