"Jangan teriak, anak-anak nanti dengar." Mas Adam membekap mulutku. Dengan cepat aku menepis.
"Buat apa, Mas?" Aku bertanya dengan penuh penekanan. Sungguh jantungku berdebar tak karuan, kedua lututku juga lemas. Langsung saja aku duduk di tepi ranjang. Kedua mataku tak lepas menatap suamiku yang tampak biasa saja. Menurutku, karena ekspresinya begitu. Tak khawatir sepertiku.
"Kantor merugi dan aku harus bayar gaji karyawan, tunjangan dan biaya operasional sehari-hari. Manajer keuangan nggak bisa atur gimana baiknya. Sumber dana perusahaan juga hampir habis yang nggak mungkin aku minta tambahan lagi."
Hah! Apa! Jadi demi menutupi uang perusahaan, suamiku berhutang ke perusahaan pembiayaan dengan jaminan mobil kami. Satu-satunya kendaraan yang kami punya.
"Sebagai pemimpin, aku harus ambil keputusan, Ning, tolong mengerti."
"Tapi kenapa nggak rembukan sama aku dulu? Kenapa ambil keputusan sendiri?!" Aku jelas marah, karena bisa-bisanya suamiku menutupi ini dari istrinya. Apa fungsi ku kalau begitu?!
"Aku nggak mau kamu pusing mikirin ini, ini urusanku."
Terus aja membela diri. Kebiasaan. Aku menatap sedih ke arahnya.
"Namun pada akhirnya aku tau dan aku berhadapan dengan penagih hutang itu yang kasar bukan main sampai aku dibantu tetangga sebelah! Kamu, tuh, kenapa sih, Mas! Ini kedua kalinya kamu begini. Dua tahun lalu tanah orang tuaku kamu jaminkan untuk pinjam ke bank demi perusahaan, sekarang juga! Kita aja belum kembalikan uang itu ke Bapak dan Ibuku, Mas! Sekarang mobil kamu jaminkan! Kalau kayak gini bubarin sekalian perusahaan itu kalau udah nggak bisa jalan. Keluarga kita yang dikorbankan!"
Kata-kataku sepertinya membuat amarah Mas Adam terpancing. Ia menamparku dan berkata jika aku lancang bicara seperti itu.
Aku sangat terkejut ia berani main tangan untuk pertama kalinya selama kami menikah. Mas Adam tidak pernah tempramen, ia selalu sabar. Namun kini ia mudah mengangkat tangannya untuk kasar kepadaku.
Terasa kebas pipi kiriku, aku memejamkan mata, menahan perih dipipi juga hati yang datang bersamaan. Tak mau bicara apa pun, aku berjalan keluar kamar untuk menangkan diri.
Kursi teras depan rumah menjadi tempatku mengontrol emosi. Baru saja aku merasa sedikit lega, ponselku bergetar, nama sepupuku muncul.
"Ya, halo, Mas Doni," kataku mencoba tak terdengar parau.
"Ning, suamimu kenapa?"
"Kenapa, gimana, Mas?" Aku mengernyit.
"Mas dapat chat penagihan utang dia ke aplikasi online. Tagihannya lima belas juta. Harus dibayar besok. Ini juga kalimat yang nagih kasar banget."
Mendengar hal tersebut dari Mas Doni, sontak saja aku memegang dada, rasanya kesal dan malu.
"Mas juga ditelponin terus, sudah seminggu ini. Agak mengganggu, Ning, coba kamu tanyakan ke Adam. Nggak cuma ke aku, tapi ke sodara lain juga, tapi mereka nggak enak mau tegur kamu, jadi melalui aku, maaf ya, Ning."
Sungguh aku tak tau harus menjawab apa selain menangis. Akhirnya tangisku pecah.
"Ning, kok nangis. Mas ke sana, ya?"
"Nggak usah, Mas. Nggak apa-apa, aku cuma kaget, nggak percaya dan malu. Maafin Mas Adam ya, Mas, sampaikan ke saudara lainnya. Nggak apa-apa mereka japri aku, nanti aku jelaskan," kataku tak enak hati dengan Mas Doni dan keluarga lainnya.
Kami menyudahi obrolan, aku kembali masuk ke dalam rumah. Ku dapati Mas Adam menatap sedih dengan tangan gemetar ke arahku. Aku berdecak kesal, berjalan melewatinya yang langsung membawaku ke dalam pelukannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terjebak kebohongan Suami ✔ (Sudah TAMAT di KBM Atau KARYAKARSA)
RastgeleHutang bertumpuk, masalah lain muncul dari orang tua, keluarga juga sanak saudara. Apa yang harus aku lakukan? Mentalku semakin diuji karena suamiku ternyata menyembunyikan banyak kebohongan dalam rumah tangga kami. Apa yang terjadi? Kenapa begini...