"Hati-hati, ingat ya, jangan diambil hati omongan teman-teman kalian di sekolah. Ibu mau kalian kuat." Aku mencium kening Rako dan Kikan, mereka berangkat ke sekolah berjalan kaki, menyusuri jalan diantara gang padat penghuni lalu hingga bertemu bagian belakang sekolah.
Satu hal yang aku syukuri, anakku tidak perlu naik turun mobil atau jemputan dan bertemu ibu-ibu julid karena penasaran kenapa kami pindah rumah dan tidak pernah naik jemputan lagi atau aku antar sendiri.
Mas Adam menatapku diiringi hela napas. Ia sudah siap berangkat bekerja. Oh, ya, sudah dua bulan kami jalani hidup seperti ini. Pekerjaan Mas Adam, bukan sebagai manajer HRD, ia dialihkan menjadi supervisor, satu level dibawa manajer. Gaji yang didapat delapan juta perbulan--sebagai awal--nantinya akan naik setelah kontrak pertama habis dan Mas Adam akan dinilai apakah layak mendapat status pegawai tetap atau kontrak satu tahun lagi.
Tak apa, lah, aku jalani saja. Sebagai istri belum bisa turun tangan membantu apa-apa karena masih berkutat diurusan anak-anak.
"Kenapa lihatinnya begitu?" Aku duduk disebelahnya. Sofa bed yang menjadi tempat tidur Rako.
"Aku masih kepikiran waktu tampar kamu, Ning. Aku menyesalll ... sekali, sungguh," katanya sambil menggenggam jemari tanganku.
"Udah aku maafin," kataku bernada datar. Memang mau apalagi? Marah, teriak-teriak, baoer dengan nangis terus? No! Lebay. Cukup aku mengultimatum Mas Adam, kalau sekali lagi seperti itu, dia akan berhadapan dengan meja hijau dan palu hakim. Alias, bercerai.
Ia mengecup jemariku lama, lalu kening. "Anak-anak gimana? Kesulitan di sekolah apa nggak karena kjta sekarang--"
"Anak-anak kuat. Walau awalnya Kikan sering murung, tapi makin ke sini dia mengerti. Udah, sana berangkat, hati-hati," kataku sembari mendorong tubuhnya supaya berdiri dari sofa. Mas Adam tersenyum, ia membawa diriku ke dalam pelukannya.
"Terima kasih sudah sabar, ya, Ning." Usapan tangannya di punggungku, bisa kurasakan ia sedih semua ini bisa terjadi. Mas Adam berangkat dengan ojek online, aku melambaikan tangan setelah ia pergi menjauh dengan ojol itu.
"Bu Ning!" panggil seseorang. Aku menoleh ke belakang.
"Iya, Bu, ada apa?" Kuhampiri sambil berpikir dia siapa.
"Saya Bu Bagio, ini ... mau kasih undangan PKK RW, datang ya. Mau ada penyuluhan tentang KB dan demo masak."
Aku mengangguk, "saya baca dulu, ya, Bu, kalau jamnya nggak bentrok sama urusan di rumah, saya datang."
"Oke, kalau gitu saya ke rumah sebelah dulu. Eh, lupa, iuran sampah perbulannya naik, jadi lima puluh ribu, mulai bulan ini setor ke saya. Rumah saya yang itu, pagar putih," tunjuknya. Aku melongo, kemudian mengangguk.
Sambil membuka undangan, aku berjalan masuk ke dalam rumah. Jadwalnya esok hari jam sembilan pagi, oke lah, bisa. Hitung-hitung berbaur dengan warga di sini.
Setelah tinggal selama dua bulan, aku tidak merasakan masalah apapun, apalagi gossip yang bikin kuping panas. Sepertinya, lingkungan mereka tidak penting gaya hidup tinggi, malah aku suka mendapati mereka makan siang bareng di rumah si A, nanti makan rujak bersama di rumah si B, tapi aku sama sekali belum ikutan, masih sungkan.
Ponselku berbunyi, nomor mama mertua. Segera ku geser layar dengan ibu jari, kemudian menempelkan ponsel ke telinga kanan.
"Assalamualaikum, Ma," sapaku.
"Waalaikumsalam. Ning, bisa datang ke restoran di jalan bambu hijau. Siang ini. Mama mau bicara."
"Bicara tentang apa, Ma?" Aku bingung.
"Peranmu sebagai istri. Kenapa Adam sampai punya utang banyak. Fungsimu apa sebagai istri! Adam baru telepon Mama minta uang untuk transport, memang kemana gajinya."
Aku menarik napas panjang, lalu suara lain menyapaku.
"Ning. Apa kamu nggak bisa atur?!" Nada suara itu terdengar ketus dan dingin. Aku mengusap pelipis, rasanya kesal mendengarnya.
"Bisa, tapi Mas Adam yang--"
"Nanti Mama sama aku tunggu di sana, datang, jangan nggak."
Tut ... tut ... tut ... telepon terputus sepihak. Aku menatap layar ponsel lalu menghela napas. Tak menunggu lama, aku bersiap untuk ke restoran yang dimaksud mama mertuaku.
Restoran chinese food halal kesukaan mama dan keluarga Mas Adam. Restoran itu sudah buka dari jam 8 pagi karena permintaan banyak pelanggan.
Selesai mandi dan bersiap, jemariku mengetik lokasi tujuan untuk memesan ojek online. Kira-kira sepuluh menit kemudian ojol pesananku datang. Segera aku berangkat setelah mengunci pintu rumah.
Setibanya di sana, ternyata tak hanya mama dan kakak iparku yang perempuan, tapi yang laki-laki juga. Total saudara kandung Mas Adam ada lima, ia anak nomor empat.
Penampilan mereka tidak ada yang berubah, tetap sama dengan gaya parlente dan terlihat orang berasa. Sedangkan aku, memakai celana kulot warna coklat, kemeja putih oversize dan membawa tas tangan warna hitam kesukaanku.
"Apa kabar," sapaku sambil menyalami satu persatu.
"Duduk," ujar mama yang sejak awal sorot matanya penuh rasa kesal, juga kakak iparku yang perempuan, Arini dan Kenita. Sedangkan kakak iparku yang laki-laki, Mas Tora terlihat biasa saja.
Mereka sudah memesan makanan, di tengah meja sudah ada nasi putih, ayam kungpaw, sapi lada hitam, tumis jamur ayam dan pangsit goreng isi ayam. Minuman pun ada. Pasalnya, mereka tidak memesankan untukku apalagi menawariku mau pesan apa. Ya aku diam saja. Di rumah sudah makan juga, perutku kenyang.
"Apa gaji suamimu nggak cukup sampai Adam minta uang ke Mama, Ning?" Obrolan dimulai, aku mengernyitkan kening. "Adam tadi pagi minta lima juta ke Mama. Bilangnya buat ongkos."
Aneh rasanya, mas Adam gajinya besar dan aku dikasih empat juta tiap bulan. Aku juga tidak pernah meminta uang simpanan lagi dari rekeningnya.
"Kamu, udah tau perusahaan kita gulung tikar. Jangan bisanya nuntut Adam ini itu. Mama dan Papa ada uang cadangan, tapi untuk banyak keperluan dan urusan. Kakak-kakak kamu ini juga punya kesibukan sendiri, semenjak perusahaan bangkrut, mereka kantoran dan berusaha memperbaiki hidup. Lah, kamu ... Ning, kasihan anak Mama ..., kasihan. Kamu jangan suka minta apa-apa."
Mas Adam cari masalah, Mama sampai bisa bicara seperti itu berarti Mas Adam menceritakan aku yang tidak-tidak ke keluarganya. Pantas, aku seperti diasingkan.
"Ning, jadi istri jangan maun enaknya aja, harus rumangsa dengan suami. Keadaan suami kayak apa harus sabar." Bagus sekali ucapan Arini, aku masiu diam. Menatap mereka yang menikmati makanan bahkan tidak menawariku.
"Adam kurang ketat dan ditegaskan, jadi semaunya yang harusnya diingatkan oleh kamu sebagai istrinya. Sekarang begini, 'kan." Tora menimpali. Aku masih diam, menatap satu persatu ke arah mereka.
Mereka asik makan, aku diam dengan pandangan kosong menatap ke tengah meja.
"Ning, makan," tukas Mama. Aku menoleh ke arah mama lalu ke tengah meja makan. Sisa makanan, daging dua potong, ayam empat potong dengan paprika merah dan hijau yang cenderung lebih banyak, lalu sayur jamur yang tinggal kuah kental dan potongan kecil jamurnya.
Aku tersenyum tipis, "udah kenyang, Ma, tadi udah makan di rumah." Aku menolak dengan hati kesal. Mama melengos.
"Mama dan Kakak-kakak semua, mau kamu ngertiin Adam. Kondisinya udah beda dan jangan suka minta ini itu." Tora berujar.
Terpojok, itu yang aku rasakan. Serangan komentar miring mereka, membuat aku hanya bisa tersenyum tipis Setelah itu aku beranjak, pamit pulang dan meminta maaf atas semua yang jadi padahal bukan salahku.
Kurang ajar!
Aku tersudut. Permintaan maaf itu sudah lebih dari cukup untuk aku ucapkan, kedepannya, lihat, aku bukan istri yang mudah diinjak oleh mereka
bersambung,
KAMU SEDANG MEMBACA
Terjebak kebohongan Suami ✔ (Sudah TAMAT di KBM Atau KARYAKARSA)
RandomHutang bertumpuk, masalah lain muncul dari orang tua, keluarga juga sanak saudara. Apa yang harus aku lakukan? Mentalku semakin diuji karena suamiku ternyata menyembunyikan banyak kebohongan dalam rumah tangga kami. Apa yang terjadi? Kenapa begini...