Plang tertulis ‘Rumah sitaan Bank’ membuat hatiku nyeri. Rasanya seperti diremas begitu keras. Kedua anakku berwajah sendu, aku yakin mereka tak kalah sedih harus merasakan hal ini.
“Ayo, jangan sedih. Ibu janji, suatu hari kita akan tinggal di perumahan ini lagi walau nggak di rumah ini. Rako dan Kikan harus kuat. Ini ujian hidup yang biasa. Oke, sayang!” Selalu itu yang aku tekankan ke anak-anak. Ini hanya ujian dan hanya sementara. Mas Adam merangkul bahuku, amarahku mulai reda setelah dua minggu lalu hal ini muncul kepermukaan. Kami pun pergi meninggalkan rumah yang penuh dengan cerita kami berempat.
Rumah yang akan kami tempati ada di daerah cukup padat, walau tidak gang senggol, hanya saja ya memang kecil dan cukup satu mobil yang lewat di depan rumah kami. Rumah kontrakan dua kamar menjadi tempat berteduh sementara. Iya, sementara, aku juga tidak mau terus ada di rumah kontrakan. Aku mau menetap di satu tempat. Resiko kami mengontrak, status alamat kami jadi numpang izin tinggal, karena rumah lama belum laku--masih tahap lelang--hingga ada penghuni baru dan kami baru bisa urus KTP yang baru. Merepotkan, tapi mau gimana lagi.
Perusahaan yang dibangun susah payah oleh keluarga suamiku gulung tikar. Semua asset dilepas demi membayar pesangon karyawan. Miris melihatnya, tapi mau bagaimana lagi. Saat aku bertanya kepada Mas Adam berapa sisa uang yang kami miliki, ia menunjukkan m-banking dengan nominal lima puluh juta. Aku hanya bisa diam walau sebenarnya berteriak di dalam hati. Kemana sisa uang lainnya! itu yang aku teriakan.
Barang-barang dibawa turun, kami menata dengan apik. Sisa barang lain aku berikan ke tetangga yang mau juga sekuriti perumahan. Malas rasanya membawa benda yang mengingatkan ku dengan rasa sedih. Cukup yang penting saja. Mas Adam memasang TV di dinding bersama sopir mobil bak yang membantu kami. Tempat tidur sengaja aku lepas dipannya dan hanya dialaskan karpet sebelum diatasnya aku letakkan springbed.
“Bu, Rako tidur di depan TV aja, nggak apa-apa," tukasnya. Anakku ini mulai paham memang, ia juga sensitif. Aku mengangguk. Sofa bed kami bisa menjadi tempat tidur Rako.
“Ning, besok aku mau ada panggilan interview di perusahaan pengiriman.”
Nah, ini lucunya. Perusahaan keluarga suamiku, seharusnya punya link banyak untuk membawa suamiku kerja dikantor yang bagus, tetapi, nyata justru suamiku dilepas begitu saja. Papa mertuaku juga terlihat santai-santai saja. Mendadak aku menjadi curiga dengan apa yang terjadi.
Berbagai pertanyaan berkecamuk dibenak. Apa suamiku sengaja begini? Apa keluarga suamiku sebenarnya tidak suka denganku dan membuat semua harta benda milikku habis padahal sebenarnya tidak? Dan sebagainya.
“Oh, yaudah, semoga dilancarkan. Kamu ngelamar sebagai apa?”
“Manajer HRD, ada lowongan di sana, info dari teman kuliahku minggu lalu."
Aku menganggukkan kepala. Malas bertanya hal lainnya lagi. Aku langsung lanjut membereskan barang-barang. Beberapa kali kecurigaanku muncul. Ah, bikin sakit kepala rasanya. Karena rasanya memang aneh. Kikan mendekat, ia tampak sedih karena menampati kamar yang bukan gayanya dia. Rumah ini bercat abu-abu, sedangkan kamar Kikan dulu serba pink putih.
“Ibu,” keluhnya sambil memeluk tubuhku.
“Apa? Kenapa murung gini?”
Kikan mendongak, menatapku nanar. “Kita miskin, ya, Bu?” lanjutnya. Aku tertawa.
“Nggak. Siapa bilang. Kikan, bukan berarti tinggal di rumah kecil ini kita miskin. Sama sekali enggak. Pokoknya, pegang janji Ibu, kalau hidup kita yang seperti ini, nggak selamanya, jadi … bersabar. Mau dapat pahala 'kan? Pahal sabar itu besar, lho, Nak.” Kembali aku membesarkan hati putriku. Kikan mengangguk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terjebak kebohongan Suami ✔ (Sudah TAMAT di KBM Atau KARYAKARSA)
LosoweHutang bertumpuk, masalah lain muncul dari orang tua, keluarga juga sanak saudara. Apa yang harus aku lakukan? Mentalku semakin diuji karena suamiku ternyata menyembunyikan banyak kebohongan dalam rumah tangga kami. Apa yang terjadi? Kenapa begini...