Terkuak satu rahasia

228 41 9
                                    

"Maksud Mas Sukmo, apa? Suamiku menyembunyikan hal lain dariku?" kataku yang begitu terkejut setelah kakakku menjelaskan hal yang bagiku mencurigakan. 

"Mas curiga, suamimu nggak mungkin punya hutang sebanyak itu kalau nggak ada yang dia incar atau tujukan, Ning." 

"Apa, Mas? Ning bingung." 

Mas Sukmo mengintip ke dalam rumah, ia memastikan anak-anak tidak mendengar omongannya. 

"Mas curiga, suamimu main judi. Baik online atau langsung. Di kantor, lagi ada info terkait judi ilegal dan mereka akan melakukan penyergapan. Maksud Mas, kalau sampai ini benar, tolong siapkan hati dan mental kamu juga anak-anak untuk hadapi ini. Nggak cuma itu, Ning ...." Jedanya. 

"Apa, Mas?" 

Kakakku tampak ragu. Aku memaksanya. Ia lalu tersenyum. "Anak-anak gimana? Apa selama ini cari Ayahnya? Maksudnya interaksi dengan anak-anak gimana?"

"Anak-anaknya biasa aja, Mas. Malah Rako sempat lihat aku dan Mas Adam ribut dan dia bilang kalau Ayahnya jahat." 

Mas Sukmo tersenyum getir. Ia mengeluarkan ponsel lalu menunjukkan sesuatu kepadaku. Aku membekap mulut, tubuhku tegang seketika, juga lututku lemas. Kakakku segera membawaku ke dalam rumah, ia lalu memelukku erat. 

"Nggak apa-apa, ya, tenangkan hatimu dulu. Mas mohon, jangan gegabah," pintanya. Aku beranjak cepat ke dapur. Mas Sukmo memanggil Rako dan Kikan lalu menyuruh jajan ke mini market dikawal ajudan kakakku itu. 

Mas Sukmo ke dapur, menyusulku lalu memeluk erat. Tangisku pecah, aku histeris dalam pelukannya. Menjerit marah bahkan memukul punggung kakakku keras.

"Aku nggak terima, Mas! Aku nggak terima!" jeritku. 

Mas Sukmo menenangkanku, ia bilang jangan sampai Bapak Ibu tau, bisa gawat. Mas Sukmo akhirnya membuat rencana, ia akan bersamaku melewati masalah ini. 

***

Satu minggu berlalu. Rasanya dadaku sesak seperti tertekan. Setiap hari jualan untuk tambahan biaya hidup sehari-hari. Mas Adam terus mendiamiku, yasudah aku diamkan balik. Enggan memusingkan apa yang mau ia lakukan. 

"Aku dinas lagi," katanya. 

"Hm," jawabku sambil menatap sarapan anak-anak. Mereka akan nginap di rumah Mbak Meisa, sopir pribadi sudah menunggu di depan, karena akan diajak liburan di Villa mereka yang ada di Puncak. 

Rako dan Kikan duduk di meja makan, aku berdiri sambil merapikan kunciran rambut Kikan. "Di sana jangan nakal, ya, nurut kata Bude dan Pakde," kataku berpesan. 

"Iya, Bu," jawab Kikan yang sumringah diajak jalan-jalan.

"Kikan, Rako, maaf ya, Ayah nggak bisa ajak kalian jalan-jalan," ucap Mas Adam yang hanya dijawab dengan tatapan mata heran dari kedua anaknya. Mereka seperti mengabaikan ayahnya sendiri. 

Anak-anak sarapan selesai, aku mengantar sampai depan. Sopir pamit dan aku melambaikan tangan ke anak-anak yang begitu bahagia. 

Kembali ke dalam rumah, aku mencuci piring lalu bersiap jualan kue. Hari jumat hari penuh rejeki, melebihi hari lainnya. Kue jualanku cepat habis apalagi selepas salat jumat. Suka ada yang memborong. 

"Kamu kenapa? Sikapmu aneh, Ning. Satu minggu kita kayak gini, perang dingin. Dosa kamu diamkan aku seperti ini!" Marah. Itulah senjata Mas Adam. Aku masih diam, sibuk menyiapkan segala keperluan datang. 

"Ning!" bentaknya hingga aku berjengkit ditempat seraya memegang dada. Kepalaku terangkat, tersenyum sinis seraya menatapnya. 

"Mas, dengar. Aku memang bukan wanita sempurna dan sholeha buat kamu. Aku mungkin perempuan yang tidak selevel dengan keluargamu." Aku menjeda, mengatur napas dulu. "Tetapi, sekali aku dipermaikan, kamu harus hati-hati. Boleh kamu nggak jaga perasaanku, tapi harusnya kamu jaga perasaan anak-anak atau minimal kasihan. Bukan malah menipu kami!" Aku menggebrak meja. 

"Apa maksudnya! Aneh kamu! Jangan asal bicara!" 

Sudah terlalu gemas dan kelas, aku mengambil kertas yang sudah aku print ke hadapannya plus foto yang membuatku begitu sakit hati. Hanya anak-anak yang aku pikirkan, bukan aku sendiri. 

"Mau mengelak lagi? Caramu murahan. Kotor, sampah! Jangan kamu pikir aku nggak bisa bertindak, ya, Mas! Udah keterlaluan kamu!" 

Amarahku meluap tapi bisa apa. Mas Adam hanya bisa menatap ke arahku lalu menatap kertas di atas meja. 

"Jangan mengelak lagi. Apa maumu, hm?!" Aku tantang sekalian. "Kalau, memang perasaanmu ke aku udah nggak ada. Bukan dengan cara ini kamu mainnya, Mas!" jeritku lalu menamparnya. Aku jalan keluar rumah, segera menata bawaanku di motor. 

Mas Adam, selain dia main judi. Ia juga mengganti nama perusahaan, yang kini merger dengan perusahaan lain dan dia tetap jadi CEOnya, selama ini ia pura-pura kerja di ekspedisi. Padahal ia tetap bos besar. 

Tak ada air mata tumpah. Mas Adam menarikku ke dalam rumah lalu ia peluk erat. Aku segera melepaskan diri lalu tersenyum menatapnya. 

"Ceraikan aku. Hidup bersama dia di sana. Di tempat mewah, apartemen mewah. Bukan di sini apalagi denganku dan anak-anak. Mau kamu tutupi kebohonganmu? Mau jebak aku dikebohonganmu?" Aku menggelengkan kepala. "Jangan anggap aku lemah. Aku bisa hidup sendiri, menghidupi anak-anak dengan kedua tangan dan kakiku sendiri! Anak-anak tidak akan tau kita berpisah sampai suatu hari nanti akan aku jelaskan ke mereka. Selamat, Mas Adam. Kamu sudah kehilangan aku dan anak-anak. Oh, atau tidak? Justru bahagia." 

Aku bersedekap, tidak ada air mata apapun. Mas Adam diam seribu bahasa. Ya, ia sudah menikah lagi diam-diam, istrinya adalah pilihan mama mertuaku sejak dulu. Aku tau siapa wanita itu karena sering disebut mereka. 

Dengan memacu kecepatan lumayan tinggi, buru-buru aku mau tiba di lokasi jualan. Rasanya semua angan-anganku hancur. Cerai bukan yang ada dalam list hidupku, tapi jika sudah mendua seperti ini, aku juga gak mau.

*** 

Malam harinya, Mas Adam kembali pulang. Aku sedang menghitung uang hasil berdagang yang aku masukan ke toples yang bertuliskan sekolah. Ya, mau tak mau aku menabung sendiri. Di atas meja ada semangkuk mie rebus dengan telur, itu makan malamku. 

Mas Adam duduk di hadapanku. Ia menghela napas panjang. "Aku akan adil, Ning," tukasnya. Aku tersenyum sinis. Setelah selesai menghitung uang. Segera aku cuci tangan lalu makan, mengabaikan Mas Adam sambil menghabiskan makan malamku. 

"Ning, aku terpaksa bohong sama kamu," katanya memelas. "Keluargaku butuh aku supaya bisa kelola perusahaan dan merger dengan keluarga Rere." 

Aku masih makan, Mas Adam terdengar terus membela diri. Aku tak acuh, asik makan lalu setelah habis beranjak mencuci mangkok. Mas Adam terus menjelaskan hingga aku kesal dengan kalimat terakhir yang ia bilang jika aku harusnya terima fakta ini karena cintanya Mas Adam sudah terjadi. Sungguh bodoh. Di situ air mataku tumpah, mengingat betapa baiknya Mas Adam dulu dan bagaimana momen bahagia kami. 

Ia ingin memelukku, aku menghindar. "Cukup, Mas, sakit rasanya tau fakta ini. Ceraikan aku secepatnya," kataku tegas. Mas Adam hanya bisa diam tak bergerak, bahkan berucap satu katapun. 

Bersambung,

Terjebak kebohongan Suami ✔ (Sudah TAMAT di KBM Atau KARYAKARSA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang