Kesempatan baru

126 27 1
                                    

"Aku nggak suka, Ning. Apa mentang-mentang Mas Doni dan Mbak Meisa kaya raya jadi bisa seenaknya beliin kamu motor, tunai, juga! Aku sebagai kepala keluarga tersinggung, Ning!" Dengan nada tinggi Mas Adam marah. Aku yang sedang membuat adonan untuk isian lontong isi daging cincang dan sayuran, hanya mendengkus. 

Mas Adam merasa diabaikan, ia memanggilku dengan nada kencang. Segera aku memutar tubuh, melihat ia geram sambil napasnya memburu cepat. 

"Kamu kesingung? Lalu, bagaimana dengan aku yang malu karena kemarin para penagih hutang telponin sepupu-sepupuku! Juga Ibu dan Bapak! Apa mereka nggak bertanda tanya dipikirannya? Kenapa bisa kamu bangkrut dan akhirnya kita pindah ke tempat ini?!"

Mas Adam diam. Aku mulai kesal sehingga tak mau kalah untuk speak up menyampaikan apa yang mengganjal dihati dan pikiran. Sudah kepalang emosi karena selama ini aku lebih banyak diam dan menerima. 

"Kenapa? Nggak bisa jawab, 'kan?" Aku menyeringai. Masa bodo dia tersinggung atau tidak. Aku menjadi pribadi yang keras kali ini. Kejadian kesekian kali Mas Adam berhutang tanpa kejelasan cerita kepadaku, sudah membuat aku merasa terjebak dengan kebohongannya. 

Rako keluar dari kamar Kikan karena sedang membantu mengerjakan tugas sekolah. "Ibu, Ayah, rumah ini kecil, kalau ribut tetangga bisa dengar." 

Aku terkesiap, lalu mengusap wajah. Benar juga, aku bahkan lupa dengan itu. Mas Adam, ia ke kamar, disusul Rako yang kembali mendampingi Kikan mengerjakan PR. Tak lama kemudian, Mas Adam keluar kamar, tapi tidak ke dapur. Ia malah pergi keluar rumah. 

Ah ... biar lah, mau kemana dia, aku ingin tenang sejenak, malas berdrama dengan suamiku sendiri. 

Awalnya Mas Adam mau mengerti setelah aku jelaskan Mbak Meisa kenapa belikan aku motor. Setelah selesai makan dan mandi, mendadak emosinya tersulut. Jangan salahkan aku membela diri, semua karena ulahnya juga. 

Jam menunjukkan diangka sepuluh malam, aku akan tidur dan bangun jam dua pagi karena harus membuat lontong isi juga puding buah yang aku taruh di wadah gelas kecil. 

Pagar terbuka pelan, aku mengintip dari jendela. Kudapati Mas Adam pulang berjalan kaki, ia tampak sumringah. Dengan cepat aku buka pintu sambil menatap heran ke arahnya. 

"Habis dari mana kamu, Mas?" Aku bersedekap. 

"Ke rumah Mama. Nih, dibawain kue." Aku menerima bungkusan yang ia bawa. Saat kuintip, ada kue yang aku tau berasal dari mana. 

"Mama ketempatan arisan lagi? Bukannya uangnya ngepas, kok arisan lagi sama mereka?" 

Yang ku maksud mereka adalah istri-istri kolega papa dulu, nenek-nenek sosialita. Mas Adam berdecak. 

"Bersyukur Mama masih peduli sama kita." 

Maksudnya apa? Mama mau mengabaikan kami? Silakan, nggak masalah. Memang sudah semakin kelihatan mereka tidak suka denganku. Semakin ke sini semakin kentara. Apalagi semenjak bangkrut, aku dituduh boros dan merongrong Mas Adam. 

Mas Adam menatapku sayu, aku berjalan melewatinya. Aku tau tatapan apa itu. Yah ... mau apa lagi, sebagai istri yang mencoba memupuk kesabaran seluas lautan, tetap saja harus memberikan hak biologis suami. 

Semua berubah saat Mas Adam menginginkanku, ia menjadi lembut dan membaikiku supaya moodku juga baik. Mas Adam tidak suka jika aku pasif. 

Hampir tengah malam kami selesai 'bekerja', Mas Adam mendapat apa yang diinginkan. Ia memang terlalu kuat untuk urusan ranjang, kadang aku kewalahan dan kesal. Entahlah, bagiku seks bukanlah hal penting pernikahan, jadi tidak yang dalam satu minggu setiap hari berhubungan, aku memilih sewajarnya saja. Kenapa? 

Karena sebagai istri dan ibu yang mengurus rumah sendirian, ada rasa lelah dan ingin istirahat, ingin me time walau nonton TV atau menbaca buku, tapi Mas Adam, jika sudah meminta tanpa pandang diriku yang lelah, ia akan terus menerjangku. 

Segera aku mandi besar di tengah malam, didalam hati berdoa supaya tidak sakit karena air cukup dingin. Sedangkan Mas Adam malah tidur. 

***

Hanya dua jam waktuku tidur, kutahan rasa kantuk yang melanda. Pesanan snack box perdanaku harus sempurna. Aroma kukusan dari daun pisang menyeruak. Pasti tetangga kontrakan sebelah ikut tercium. Semoga saja mereka bertanya dan nanti ikut memesan. 

Kikan bangun, ia memeluk pinggangku lalu berjalan ke kamar mandi. Rako sendiri sudah bangun dan mandi sejak pukul lima. Aku merebus air hangat untuknya mandi. Rako memang mudah flu, beda dengan Kikan. 

Selesai anak-anak sarapan dan bersiap, aku segera mengantarkan anak-anak ke sekolah. Kedua anakku semangat saat naik ke atas motor. 

"Bu, ini dibeliin Bude Meisa dan Pakde Doni?" tanya Rako. 

"Iya. Lumayan, ya, motornya." 

"Bagus, Bu. Cocok sama Ibu, warnanya juga cantik," sambung Kikan. Aku ingat, Mbak Meisa memberikan uang, ide menyenangkan anak-anakpun muncul akan aku realisasikan setelah pulang sekolah. 

Selesai mengantar anak-anak, aku pulang. Kulihat Mas Adam juga baru mau berangkat. "Mas, mau aku antar sampai depan jalan utama?" tawarku. 

"Nggak usah, aku naik ojol aja."

"Oh iya, aku ke kantor Mbak Meisa nanti, antar pesanan, ya," izinku. 

"Hm." Mas Adam lalu berjalan keluar pagar karena ojek sudah datang. Aku menghela napas, kenapa sekarang seperti marah lagi. 

***

Jalanan cukup padat, tapi aku bisa tepat waktu tiba di kantor Mbak Meisa. Setelah lapor ke sekuriti, aku diizinkan menunggu di lobi. Tak lama Mbak Meisa datang bersama dua office girl. 

"Ning!" sapa Mbak Meisa riang. Aku menyalim tangannya. Ia tersenyum. "Makasih udah mau terima pesanan mendadak."

"Sama-sama, Mbak. Aku terima kasih banget malah."

"Ih, kamu, kayak apaan aja. Eh iya, aku mau tanya ... kalau setiap hari jumat kamu masakin untuk jumat berkah bisa, nggak? Nasi kotak. Aku ada program mau bagi-bagi nasi kotak untuk di masjid belakang gedung ini. Atas nama pribadi. Harga dari kamu aja. Bisa nggak?"

"Beneran, Mbak?!" Aku memekik senang. 

"Iya. Tiap jumat aja."

"Insyaa Allah bisa, Mbak." 

"Yaudah. Kalau gitu jumat besok mulai, ya, nanti naik taksi aja antar ke sini, aku ongkosin juga. Eh, lupa, sabtu besok ulang tahun Devara, anak-anak ke rumah, ya. Devara juga tanyain Rako dan Kikan."

"Devara bukannya udah SMA kelas dua, ya? Masih mau dirayain?" Aku tertawa pelan. 

"Masih, tapi sekarang minta sama saudara-saudara aja. Adam suruh ikut juga, ya." 

"Iya, Mbak." 

Aku pamit pulang, Mbak Meisa tampak begitu mencirikan wanita karir yang sukses tanpa menyampingkan anak-anak. Aku suka iri, dulu aku juga sempat bekerja, sebelum memutuskan berhenti karena menikah dengan Mas Adam. 

Kesempatanku mencari tambahan uang, melalui Mbak Meisa, aku tersenyum sambil berjalan keluar dari lobi gedung bank yang besar ada dipusat kota. 

Kedua mataku menyipit, sambil terus melangkah ke arah motorku terparkir. Aku melihat mereka tampak tertawa seperti tidak ada beban. 

Mas Adam dan adik iparnya. Mereka jelas baru keluar dari restoran jepang dan anehnya, baju yang dikenakan Mas Adam, berbeda dengan apa yang dikenakan saat berangkat dari rumah tadi. 

Apa maksudnya? 

bersambung

Terjebak kebohongan Suami ✔ (Sudah TAMAT di KBM Atau KARYAKARSA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang