Tagihan lagi?

117 29 1
                                    

"Iya, siapa, ya?" tanyaku. 

"Kamu lupa?" katanya lalu tersenyum dengan sederet gigi putih, ia juga membuka kacamata hitam yang dikenakan. "Masih nggak ingat?" Kembali ia tersenyum. Aku menggelengkan kepala. 

"Yasudah kalau begitu. Saya mau beli kuenya, sepulu biji campur aja, terserah kamu." 

Sungguh aku tak tau siapa dia, biar saja aku tak mau ambil pusing. Setelah membayar, ia pamit pergi, aku juga kembali melayani pembeli lain. 

Pulang jualan jam tiga sore, alhamdulillah Kikan dan Rako tidak rewel atau mengeluh. Mereka justru terlihat senang. Baru saja selesai mencuci perlengkapan, tiba-tiba pagar rumah kontrakan kami berbunyi dan seseorang memanggil. 

"Ya, sebentar," sahutku sambil berjalan ke depan. 

"Sore, Bu benar rumah Bu Aningtyas?"

"Iya, benar," jawabku. Dua orang itu tampak seram dari perawakannya, gahar juga. Aku tidak membuka pagar untuk mempersilakan mereka masuk. Kami berdiri di dengan dibatasi pagar. 

"Begini, Bu, kami dari Bank Sahabat, mau menagih tagihan atas nama Bu Aningtyas yang sudah dua bulan tidak dibayar. Apa Ibu, Bu Aningtyas?"

Aku mengangguk. "Tunggu, tunggakan apa, ya, Pak?" 

"Tiga bulan lalu, Ibu mengajukkan pinjaman online ke aplikasi kebutdana sebesar tiga puluh juta. Ini benar Ibu, 'kan?" Ia menunjukkan kertas yang terpampang wajahku. Aku mengangguk. 

"Tapi saya tidak melakukan it-- tunggu!" pekikku tegas. Aku mencoba mengingat. Setelah beberapa detik, pernah satu kali Mas Adam minta aku verifikasi sesuatu diHPnya, sempat aku menolak dan Mas Adam malah marah-marah juga berkilah jika itu bukan apa-apa, tak mau pusing, aku melakukan permintaannya. 

Ternyata ini, aku ingat. Dua pria tinggi kekar itu menyadarkanku dari lamunan. "Bu, harus bayar cicilan dan bunga yang sudah berjalan sampai hari ini."

"Berapa yang harus saya bayar," tanyaku lagi. 

"Tiga juta lima ratus. Pinjaman selama dua puluh empat kali. Satu bulannya satu setengah juta. Tolong bayar hari ini juga, Bu," tegasnya. Aku menatap kedua pria itu. 

"Pengajuannya untuk apa saat itu, ya?" Aku benar-benar tidak tau. 

"Masa Ibu lupa. Lagu lama ya, Bu, cari alasan dan pura-pura tidak ingat. Nih, Bu, Ibu mengajukan untuk biaya sekolah anak. Tuh! Jelas tulisannya!" tunjuknya dengan nada tinggi penuh emosi. 

Aku tersentak kaget, juga sedikit takut, tapi kemudian aku menatapnya. "Saya bayar!" kataku judes. Segera aku mengambil ponsel di dalam rumah, dengan m-banking aku transfer tiga setengah juta lalu menunjukkan bukti screenshoot ke arahnya. Kedua pria itu tak lama pergi. 

Setelah masuk ke rumah, tubuhnya merosot duduk di lantai. Rako menatapku lalu datang menghampiri. "Bu," panggilnya. Aku hanya bisa diam lalu melirik ke arahnya. Pikiranku kacau, sisa saldo di rekeningku dua juta, karena lima ratus sudah untuk modal dagang dan belum aku hitung berapa uang hari itu setelah berdagang. 

Aku menunggu suamiku pulang, jam delapan ia tiba di rumah. Tak mau menunggu lama, langsung aku tanyakan tentang pinjaman yang memakai namaku tapi aku tak tahu kemana uang itu. 

"Kamu jebak aku dengan kebohongan kamu, Mas?!" tukasku tegas. 

"Pinjam nama kamu doang, nanti aku bayar." Begitu santai ia menjawab. Aku menggebrak meja saking kesalnya. 

"Buat apa! Aku bahkan nggak tau kamu ajukan itu! Tiga puluh juta! Itu banyak, Mas!" jeritku lagi. 

"Ibu!" Rako dan Kikan menghampiri lalu memelukku. Mereka kaget karena selama ini aku nggak pernah marah dan sekarang meledak seperti bom waktu. 

Terjebak kebohongan Suami ✔ (Sudah TAMAT di KBM Atau KARYAKARSA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang