Rekening menipis

150 24 6
                                    

Bulan terus bergulir, anak-anak sudah selesai menghadapi ujian semester kenaikan kelas dan aku tetap berkutat pada usaha terima pesanan makanan juga kue basah. "Bu, ambil rapot minggu depan, udah baca undangannya di WA Ibu?" ujar Rako sembari duduk bersandar pada sofa di depan TV sementara aku sedang membuat lemper isi ayam pesanan tetangga karena mau ada arisan. Lumayan, 50 pcs yang satunya aku hargai 2500. 

"Udah. Bang, kamu mau ikut acara makan-makan bersama teman-teman sekelas?" 

"Nggak, ah," tolak Rako. 

"Kenapa?" cecarku. 

"Bantuin Ibu aja. Hari itu Ibu ada pesanan antar kue, kan, Rako ikut Ibu aja."

"Tau dari mana kamu, Ibu ada pesenan kue?"

"Itu," tunjuknya ke kertas catatan pesanan yang aku tempel di samping kulkas. Tawaku menggema, Rako hanya tersenyum. 

"Oke." Kembali aku fokus menggulung lemper. Lemper bakar yang aku buat menjadi favorite pelanggan. Sudah tiga kali aku mendapat pesanan ini. 

"Bu," panggil Kikan dari arah depan kamar, ia bersandar pada ambang pintu. Aku menatapnya. "Ayah kapan pulang? Lama banget dinasnya, udah mau dua minggu," keluh Kikan. 

"Besok. Kikan mau sereal, Ibu beli tadi. Makan bareng Bang Rako, ya. Pakai susu ambil di kulkas, mangkoknya di rak piring," kataku mengalihkan pikiran Kikan. 

"Oke," jawabnya. Kikan mengambil dua mangkok, lalu ia letakkan di meja makan. Disiapkan dua porsi untuk dia sendiri dan Rako. 

"Bang, bantuin Adek, sana," kataku menyuruh. Rako mengangguk, segera bangkit lalu berjalan ke meja makan. 

Aku bersyukur, punya dua anak yang perlahan paham kondisi kami.  Bukan waktu mudah selama empat bulan ini harus berdiri tegap dengan kondisi yang ada. 

Lemper selesai aku bungkus, tinggal aku bakar lalu diolesi minyak sedikit demi sedikit pada pembungkus daun pisangnya. Kikan mendekat, ia membaui bakaran lemper. 

"Bu, jualan aja di car free day, kue buatan Ibu enak-enak, ya, Bang."

Aku menoleh, "car free day mana?" 

"Komplek yang deket mal itu, Bu, ramai di sana. Di komplek rumahya Sintia, temen kelas Kikan." 

Iya juga, aku tidak terpikir ke sana. Lumayan juga dipikir-pikir uangnya. Tanpa pikir panjang, setelah selesai antar pesanan tetangga, aku dan anak-anak naik motor ke komplek megah tersebut untuk mencari informasi. 

Kompleknya luas, luasss ... sekali. Bangunannya pun unik, sesuai nama cluster-clusternya. Yang diberi nama Sakura, bentuk rumahnya nuansa jepang. Lalu victoria, ya model rumahnya klasik. Favoritku saat melewati cluster Amsterdam, bangunan rumahnya seperti rumah di Belanda, kecil tapi cantik dan klasik. Aku berhenti di depan gerbang cluster, menatap seraya tersenyum, berdoa dalam hati supaya bisa tinggal dan memiliki salah satu dari rumah di sana. 

"Selamat sore, Ibu, ada bisa saya bantu?" tegur sekuriti dengan seragam serba hitam. 

"Oh, iya, selamat sore, Pak. Ini ... cuma mau lihat model rumahnya, bagus. Nuansa Belanda ya, Pak." 

"Iya, Bu, betul. Ibu mau ke mana, atau nyasar?" 

"Nggak Pak, saya sama anak-anak lagi cari informasi tentang jualan di car free day, katanya ada ya setiap sabtu minggu." 

"Oh, betul, Bu. Ibu bisa ke sana, ada pos saja utama, dekat cluster Sakura, bilang aja mau daftar jualan. Ada dua jenis, Bu, yang car free day saja atau keanggotaan jualan di hari jumat sabtu minggu."

Aku sumringah, kesempatan emas. 

"Untuk masyarakatnya gimana, Pak, daya belinya?" 

"Kalau kata saya, baik, Bu. Karena memang lingkungan perumahannya menengah ke atas. Istri saya dagang siomay, belum setahun udah bisa beli motor bekas sendiri, Bu." 

"Oh, gitu. Wah, boleh, deh. Saya ke sana, ya, Pak. Terima kasih informasinya, selamat sore."

"Sore, Bu, hati-hati jangan ngebut-ngebut," ucap sekuriti itu. 

"Bu, ayo, Bu, kita jualan!" pekik Kikan yang terlihat semangat. Aku mengangguk senang. 

Akhirnya, setelah bertanya-tanya, masih ada lapak kosong, jika car free day, aku diminta membayar lima puluh ribu sehari sebagai uang kebersihan, lalu jika daftar keanggotaan, aku bayar dua ratus lima puluh ribu setiap bulannya, sudah dapat tenda, meja dan kursi. Bermodal bismillah, aku mendaftar keanggotaan. Segera aku bayar dan lusa, tepatnya jumat mulai dari jam sepuluh sampai selesai, boleh jualan. 

Kikan memekik senang, kebetulan anak-anak sudah libur sekolah jadi tidak perlu membagi waktu untuk jemput sekolah. 

***

Aku terus menghubungi Mas Adam, sudah empat hari ponselnya tidak menjawab panggilan atau chat ku, padahal dibaca. Apa maunya suamiku. Sesibuk itu kah sekarang? 

Dua minggu dinas di cabang lain, membuatku berpikir sedikit berlebihan. Apa benar dinas? Apa ada sesuatu lainnya. Bukan apa, firasat seorang istri kadang mengarah ke mana-mana. 

Jemariku bergerak mengecek m-banking, sisa saldo hanya enam juta rupiah. Kepalaku mulai berdenyut, harus usaha terus supaya bisa menyekolahkan anak-anak. Jika rumah, aku membayar untuk dua tahun saat mendapat uang jual rumah yang lama. Jadi, aman untuk anak-anak tinggal. 

Tak lama, kembali muncul tagihan utang lagi. Angkanya belasa juta. Ya Allah, buat apa lagi suamiku. Akhirnya, dengan kesal, aku menghubungi ibu mertuaku. 

"Halo," sapaku. 

"Ya, ada apa." Nada ketus terdengar diseberang sana. 

"Maaf, Ning mau tanya. Apa Mas Adam masih suka punya utanyan di luar sana, Bu?" Dengan lembut aku bertanya. 

"Mana Ibu tau! Kamu tanya ke suamimu sana." 

Seketika pembicaraan terputus, aku menatap hampa layar ponsel, lalu kuletakkan di atas ranjang. Apalagi ini, masih belum selesaikah perkara uang dan utang ini? Sampai kapan ini terjadi. Rasanya aku mengeluh terus, protes terus karena kondisi tak mengenakan ini. Nyatanya, Mas Adam seperti lepas tangan. Jujur saja, ia tidak memberikan gajinya kepadaku dua bulan ini. Alasannya habis bayar cicilan hutang. Aku hidup dari uang tabungan yang lama kelamaan pasti menipis. Sedangkan anak-anak terus butuh biaya. 

Esok hari Mas Adam pulang, wajahnya terlihat ceria dan biasa saja, seperti tak ada beban tak berkabar denganku selama empat hari lebih. Mas Adam membawa buah tangan untuk anak-anak, lalu mencium keningku lama. 

"Dasteran terus, Ning," ledeknya. Aku menunduk, menatap diriku yang akhir-akhir ini lebih sering dasteran. 

"Iya, kucel ya, Mas." Aku membawa koper miliknya ke arah mesin cuci. 

"Nggak, tetap cantik, kok. Bajunya udah bersih, udah aku laundry sekalian di sana. Ringanin tugas kamu," katanya lalu menoleh ke anak-anak yang sibuk menikmati kue pie khas Bali yang dijadikan oleh-oleh. Mas Adam mencumbuku di dapur, aku mendorong tubuhnya. 

"Mas!" pekikku tertahan. Mas Adam tersenyum tipis lalu membuka kemeja karena katanya mau mandi. 

"Mas Adam ke mana, empat hari nggak kabarin aku, lupa sama istri?" ledekku plus menyindir sambil bersedekap. 

"Maaf, sibuk banget, sampai hotel ngantuk banget. Kacau cabang di sana," jawabnya santai. 

"Mas, tabunganku sisa enam juta. Anak-anak kenaikan kelas, butuh uang untuk bayar uang awal tahun, gimana, Mas." 

Seketika raut wajah Mas Adam berubah kesal, ia juga melirik sinis. Bukannya menjawab, ia masuk ke lamar mandi lalu menguncinya. Pertanyaanku tak dianggap dan aku tau apa jawabannya nanti, apalagi jika bukan aku yang harus mencari jawabannya sendiri.

bersambung

























































































Terjebak kebohongan Suami ✔ (Sudah TAMAT di KBM Atau KARYAKARSA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang