Jika tiap pertanyaan yang muncul akibat rasa penasaran bisa menumbuhkan ular di kepala, Yooji yakin dirinya sudah berubah menjadi Medusa.
Hanya perlu tiga menit waktu yang ditempuh untuk tiba di apartemen Minjeong. Dan dalam tiga menit itu, barangkali kaki dan kepalanya merupakan satu kesatuan yang tak utuh. Pasalnya tak peduli seberapa sadar kedua kakinya melangkah di atas permukaan aspal, menendang salju, ataupun menggema menapaki ubin gedung, ular-ular di kepala Yooji seolah tak membiarkan isi pikirannya terjamah oleh realita.
Sekalipun Minjeong pernah bilang jika novelnya itu terinspirasi dari kisahnya sendiri, bisa dipastikan ceritanya itu sudah ditaburi bumbu fiksi sana-sini. Maksudku, apa gadis ini benar-benar orang Irlandia? Apa Karina benar-benar orang Norwegia?
Seandainya itu semua benar dan Karina-Winter tinggal bersama, kira-kira apa profesi Karina sekarang? Mengingat si polisi berkewarganegaraan Norwegia itu begitu mencintai buku, bukankah ada kemungkinan jika kini Karina berkecimpung dalam dunia sastra dan literasi? Selain itu, bagaimana perawakan dan parasnya? Siapa nama asli Karina di dunia nyata?
Dan bla bla bla bla.
Sialnya, entah karena terlampau terbiasa membayangkan dirinya sendiri yang berperan dalam layar khayalan, tetap saja Yooji tak kunjung berhasil merepresentasikan sosok Karina sebagai siapapun selain dirinya.
Sial. Sial. Sial.
Kenapa segala kemungkinan tentang Karina malah selalu berujung padaku?Akan tetapi mungkin Yooji tak menduga jika ular-ular di kepalanya dapat sebegitu mudahnya rontok berguguran tatkala mendengar bunyi derit pintu yang terbuka, dengan Minjeong yang menyambut di ambang pintu seraya berkata ramah, "Silahkan masuk, Yooji-ssi."
Kutukan Medusa-si-ingin-tahu seketika menghilang. Tergantikan oleh decak kekaguman tatkala pandangannya menyapu ke segala penjuru apartemen Minjeong.
Sofa empuk minimalis menyambut di dekat pintu utama. Dinding dan ubin bernuansa putih tulang terbentang luas merengkuh ruangan, menyisakan jendela kaca besar —di mana tanaman-tanaman hijau disusun berjejer pada kusen— yang menampilkan panomara hiruk-pikuk kota dalam kabut beku musim salju. Di antara sekat-sekat gypsum yang membagi antar ruangan, satu ruang santai di mana terdapat sebuah pohon natal terhias anggun di samping perapian, dilengkapi keberadaan satu grand piano akustik dan gitar yang menambah kesan artistik sekaligus elegan.
Namun yang menarik perhatian Yooji adalah lukisan-lukisan yang terpampang mendominasi permukaan dinding. Terbingkai dalam berbagai ukuran, bentuk dan warna, yang secara tak langsung membuat kesan semarak pada ruang. Yooji berani bertaruh ada lebih dari dua puluh lukisan yang terpajang.
"Wow. Seperti pameran saja," Celetuk Yooji tanpa sadar. Mengundang tawa si pemilik apartemen yang entah sejak kapan sudah berada di ruang santai. Barangkali Minjeong sengaja meninggalkan Yooji yang masih tercenung di ruang tamu untuk mengagumi semua koleksinya. Gadis itu nampak berdiri di depan perapian listrik yang baru saja ia nyalakan.
"Karena aku bekerja sebagai kurator seni di Museum Nasional, ada banyak karya yang membuatku tergoda untuk membelinya tiap kali kami menyelenggarakan pameran galeri." Sahut Minjeong.
"Kurator seni di Museum Nasional.... Seoul?"
"Iya, dulu orang tuaku juga bekerja di sana. Walaupun sekarang aku sudah menjadi penulis seperti yang aku cita-citakan, entah kenapa aku masih bisa merasakan dorongan untuk melanjutkan pekerjaan mereka."
Bingo!
Seingatku Winter pernah menyebutkan jika orang tuanya berprofesi sebagai kurator. Jika memang demikian kenyataannya, bukankah itu artinya Minjeong memang berasal dari Korea dan bukannya Irlandia?
KAMU SEDANG MEMBACA
UNFREEZE [jmj]
FanfictionSaat musim dingin tiba, hati Yooji yang beku pun luluh. ⚠️ Trigger Warning ⚠️ depression, mental issues, suicide attempt top!Karina bot!Winter