AF : life is an egg

3.2K 660 145
                                    

Sore itu, di tengah badai salju, Winter terduduk di depan makam kedua orangtuanya. Hanya diam membatu, menatap dua nisan yang terukir di hadapannya dengan mata sendu. Ingin menangis, tapi air matanya sudah habis. Ingin marah, tapi tak tau harus melampiaskannya pada siapa. Pada takdir? Pada Tuhan? Kalau iya, bagaimana caranya?

Mungkin benar kata orang-orang, jika rasa sakit yang paling menyakitkan adalah mati rasa. Sungguh, apa yang lebih menyakitkan daripada kehilangan kedua orang tua?

Sehari berlalu semenjak bencana longsor terjadi namun Winter masih sulit menerima kenyataan bahwa ia kini seorang yatim-piatu. Terlebih sebagai anak semata wayang membuatnya bagaikan sebatang kara yang terdampar di negeri asing.

Upacara pemakaman sudah berakhir sejam yang lalu. Tak ada yang nekat berlama-lama di sana sebab badai salju yang datang seusai pemakaman menerjang murka. Angin kencang membuat salju-salju yang mencecar terasa perih merajam badan. Beberapa pohon bertumbangan. Para petugas juga telah mengevakuasi baik warga maupun turis yang membutuhkan bantuan menuju ke posko pengungsian (yang tentunya sudah dialokasikan ke bangunan kokoh, bukan lagi tenda), takut-takut tragedi terjadi lagi.

Namun Winter masih di sana, putus asa. Kemarin disaat petugas bertanya apa ia bersedia membawa jasad orangtuanya pulang ke Irlandia, Winter hanya diam. Disaat petugas memutuskan secara sepihak agar ayah dan ibunya disemayamkan bersama korban yang lainnya, Winter tetap bungkam.

Ia benar-benar hilang akal. Gadis berusia delapan belas tahun seperti dirinya tak pernah menduga hal semacam ini akan terjadi. Lagipula sejak awal dia hanya datang sebagai turis, tak pernah sekalipun terpikir akan berakhir sebagai pengungsi.

Winter bahkan tak peduli meski keputusasaan membuatnya dengan lugu menantang maut. Duduk meringkuk hanya dengan mengandalkan jaket tebalnya yang sedari tadi dijadikan tameng, serapat mungkin dipeluk. Hantaman badai bersuhu beku terasa menusuk tulang hingga rusuk. Ketebalan salju kian bertambah dan terus menumpuk. Pandangannya memburam, napasnya menyempit, kesadarannya menipis, denyut jantungnya melemah. Bahkan tanpa Winter ketahui wajahnya telah memucat sepucat mayat dengan bibir membiru.

Dan seiring berlangsungnya badai salju yang terus menimbun hingga setengah badan, cahaya perlahan-lahan melalap. Hingga akhirnya jantungnya yang lemah berdenyut pasrah, ia pun menjumpai gelap.

Winter tak sadarkan diri.

~•°•°•~

Ruangan serba putih menjadi apa yang Winter lihat pertama kali ketika kedua netranya membuka. Mengerjap berulang kali berusaha menyesuaikan diri dengan pencahayaan. Pandangannya yang buram pun perlahan-lahan normal kembali.

Namun beberapa saat setelah kesadarannya terkumpul penuh, Winter sontak bangun terduduk—panik mendapati punggung tangan kirinya tertanam infus hingga membuat ranjang yang ditempatinya berderit. Tepat saat itu juga Winter meringis lantaran kepalanya mendadak terasa berat, seolah ada beban tak kasat mata yang jatuh menghimpit.

"Kamu terkena hipotermia."

Winter terlonjak menyadari keberadaan orang lain selain dirinya. Lantas ia segera menoleh ke kanan mengikuti sumber suara, dan menemukan seorang wanita yang terduduk di atas kursi tengah mengusap wajah, bangun tidur (Winter menduga, mungkin orang itu terbangun karena kebisingan yang ia buat terlalu mengganggu).

Winter mengernyit saat wajah wanita itu terlihat sepenuhnya. Dengan jarak antara mereka yang tak begitu jauh, Winter dapat melihat lencana kepolisian menggantung pada jaket tebalnya serta tanda pengenal bertuliskan 'Karina'. Ah, itu petugas yang tadi malam.

"Aku menemukanmu saat melakukan evakuasi." Terang Karina seakan paham dengan keheranan Winter. Kemudian ia beranjak dari duduknya untuk mengambilkan segelas air, tetap bicara. "Tadinya saat melintas di dekat pemakaman umum, aku kira itu hanya kuburan biasa. Tapi entah kenapa bentuknya agak janggal karena terlalu menonjol dari yang lainnya. Dan saat aku mendekat, oh—ternyata manusia." Ujarnya sembari menghampiri Winter yang sedari tadi terus menatapnya lurus.

UNFREEZE [jmj]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang