Minjeong mengenakan dress bercorak dedaunan jingga kemerahan yang senada dengan nuansa pertengahan musim gugur di hari itu.
Hari yang menjadi saksi pertemuan pertama antara Minjeong dan sang editor.
Minjeong belum pernah merasa sebegitu antusias untuk bertemu seseorang. Saat langkahnya melenggang masuk, pandangannya menyusuri seisi cafe, lalu mendapati salah satu pengunjung yang ia cari tengah menatap ke arahnya. Cukup mengejutkan melihat pemudi itu datang lebih dulu mengingat ini masih terlalu awal dari janji temu.
Awalnya Minjeong berjalan menghampiri sembari melempar senyum pada Yoo Jimin. Namun menyadari senyumnya tak dibalas dan terus ditatap lantas membuat Minjeong tergugup. Sorot mata tajam dengan pandangan yang kuat membuat Minjeong merasa bagaikan mangsa yang hendak ditikam predator.
Sang editor nampak kurang ramah, tapi Minjeong berharap asumsinya salah.
"Maaf, apa anda Yoo Jimin?"
"Kim Minjeong, benar?"
Minjeong tersenyum.
"Sudah lama menunggu?""Ya. 45 menit."
Minjeong sontak membungkuk sopan. "Maaf membuatmu lama menunggu."
"Aku datang sejam lebih awal karena keinginanku sendiri, dan kau datang 15 menit lebih awal dari yang seharusnya. Tidak ada yang terlambat, jadi tak ada yang perlu minta maaf di sini."
Mendengar jawaban pemudi itu membuat Minjeong terkesiap. Entah bagaimana antusiasmenya mendadak lenyap dalam sekejap. Huh, apa memang begini caranya memperlakukan klien?
"Mau sampai kapan berdiri di sana? Duduklah."
Mungkin ini masih terlalu dini bagi Minjeong untuk menilai kepribadian seseorang. Bisa jadi pembawaan alami Yoo Jimin memang sedikit kaku dan terus terang. Tak perlu diambil pusing, Minjeong kembali tersenyum lalu duduk pada bangku yang bersebrangan dengan pemudi di hadapannya itu.
Menyadari kecanggungan diantara keduanya, Minjeong berinisiatif memulai pembicaraan. "Umm... Terima kasih sudah memberiku kesempatan, Jimin-ssi. Aku merasa sangat—"
"Yooji."
Kedua alis Minjeong terangkat sekilas. "Ya?"
"Panggil aku Yooji. Jimin itu nama yang pasaran."
Sesaat Minjeong mematung sebelum akhirnya tertawa canggung. "Baiklah, Yooji-ssi."
Seumur hidupnya Minjeong belum pernah merasa terintimidasi oleh orang asing. Ini bukan hanya tentang pembawaan, tapi juga penampilan.
Sebelumnya Minjeong memang sudah melihat bagaimana sosok Yooji dari balik layar monitor, namun ia sama sekali tak menyangka jika editornya ini begitu karismatik. Surai biru gelapnya yang lurus panjang nampak halus, lehernya yang jenjang terbalut turtleneck serta setelan blazer hitam membuatnya terlihat sangat modis. Namun yang pertama Minjeong sadari adalah sorot matanya yang tegas. Dipayungi alis yang tidak begitu tebal namun tidak pula tipis. Dingin tapi tidak bengis.
Nah, Kim Minjeong. Kuatkan dirimu.
"Langsung ke intinya saja. Kemarin aku sudah memberi tau jika naskahmu tertolak, itu keputusan final. Tapi karena kau memohon, aku ingin bertanya beberapa hal sebagai bahan pertimbangan."
Suara Yooji kembali menarik atensi Minjeong sepenuhnya. Sepasang obsidian mereka kini beradu pandang.
"Aku menerima naskah milikmu sekitar 23 hari yang lalu, tapi sejujurnya aku tak membaca apapun selain sinopsisnya."
Bingo! Tebakan Minjeong kemarin ternyata benar. Tapi apa yang membuat Yooji begitu lama untuk memutuskan jika memang sekedar membaca sinopsisnya? Paling tidak, dalam tiga hari seharusnya Minjeong sudah mendapat kabar.
KAMU SEDANG MEMBACA
UNFREEZE [jmj]
FanfictionSaat musim dingin tiba, hati Yooji yang beku pun luluh. ⚠️ Trigger Warning ⚠️ depression, mental issues, suicide attempt top!Karina bot!Winter