Keesokan harinya, cuaca terlihat lebih bersahabat.
Setelah kondisi kota Tromso dinyatakan aman seperti sediakala, posko pengungsian jadi lumayan sepi. Beberapa warga yang telah kehilangan tempat tinggal memilih menumpang di rumah kerabat ketimbang mengungsi. Beberapa turis juga kembali menikmati liburan mereka yang sempat tertunda dua hari.
Siang itu Karina ditugaskan di bagian receptionist, berganti shift dengan Yena. Dan sebagaimana kebiasaan orang-orang Norwegia pada umumnya, di atas meja sudah tersedia bekal makan siang yang ia bawa dari rumah. Namanya matpakke; roti gandum tipis berlayer tiga, dengan lapisan keju dan daging pada tiap helainya. Sebagai tambahan mengikuti selera, Karina juga membawa tiga butir telur rebus.
Karina hendak membuka kotak makan siangnya ketika mendapati Yena nampak berlari menerobos salju dari kejauhan sambil berteriak tak tau malu, "Tolong lempar kunci mobilku!"
Ck. Kebiasaan. Karina hanya mengerling begitu Yena menangkap kunci yang ia lempar dengan pose menggelikan. Alih-alih berbalik pergi setelah mendapatkan benda yang dicari, Yena malah berjalan menghampiri.
"Untuk apa menyuruhku melemparnya kalau ujung-ujungnya malah ke sini?" Sindir Karina yang sibuk menjentik-jentik kerabang sebutir telur rebus.
Namun Karina mendadak dibuat waspada sebab tak kunjung mendapat jawaban dan menyadari gelagat Yena yang mencurigakan. Aktivitas mengupas telur rebusnya terhenti saat satu tangan Yena bertengger di atas meja—hanya berjarak tiga jengkal dari kotak makan siangnya. Melihat mata sang rekan yang mulai curi-curi pandang pada isi bekal, lantas secepat kilat Karina mengamankan makanannya ke bawah meja.
Yena berdecih. "Memangnya siapa yang mau mencuri makan siangmu? Percaya diri sekali."
"Memangnya siapa yang menuduhmu ingin mencuri makan siangku? Percaya diri sekali."
Yena terkesima. Belum apa-apa, tapi sudah ditusuk dengan kata-kata.
"Justru dengan alibi yang seperti itu, niatmu mencuri makananku jadi semakin jelas."
Satu tusukan lagi, Yena kian tercengang. Terkadang ia berpikir jika saja ada yang mengadakan kompetisi convokiller, ia berani bertaruh temannya ini akan keluar sebagai pemenang.
"Hey, hey, salam damai." Yena terkekeh. Membentuk dua jarinya menjadi tanda peace. "Walaupun matpakke dan telur rebusmu membuatku agak tergoda, tapi tujuan utamaku ke sini karena ingin menanyakan sesuatu. Bukan mencuri."
"Sesuatu?" Tanya Karina tatkala yakin keadaan sudah aman untuk mengeluarkan kotak bekal dari persembunyian.
"Benar. Sesuatu yang membuatku sangat sangat sangat penasaran." Terlalu bersemangat, Yena tanpa sadar mencondongkan tubuh dengan dua lengannya bertopang pada permukaan meja. "Bagaimana kabar gadis yang kemarin?" Tanyanya sembari menaik-turunkan alis (entah apa maksudnya) pada manusia di hadapannya yang sejak tadi tak berekspresi ini.
"Masih hidup."
Yena mengangguk-angguk. Lantaran jawabannya yang jelas tak memuaskan, Karina tau persis jika sedetik kemudian Yena akan mengatakan sesuatu yang tak kalah menjengkelkan dari senyumnya (yang mirip bebek) itu.
"Wah, ini mengingatkanku pada dongeng snow white. Seorang putri musim dingin yang tak kunjung sadarkan diri akhirnya terbangun karena mendapat ciuman dari pange—UHUK!" Ocehan Yena mendadak tercekam bersamaan dengan kerah seragamnya yang dicengkram Karina. "Hey!—uhuk—kau mau membunuhku, ya?!"
"Tau tidak? Mulut bebekmu jadi dua kali lipat lebih menyebalkan jika bicara sembarangan begitu." Karina berdecak sebelum melepas cengkramannya pada Yena. Lagipula melakukan aksi pembunuhan di kantor polisi nampaknya bukanlah ide bagus.
KAMU SEDANG MEMBACA
UNFREEZE [jmj]
FanfictionSaat musim dingin tiba, hati Yooji yang beku pun luluh. ⚠️ Trigger Warning ⚠️ depression, mental issues, suicide attempt top!Karina bot!Winter