Antithesis

1K 145 27
                                    

Setiap manusia memiliki identitas diri, yaitu persepsi seseorang ketika menilai dirinya sendiri sejalan dengan persepsi orang lain ketika menilai dirinya pula.

Ibarat menatap pantulan dari dalam cermin, manusia akan menjerit ketakutan manakala wajah asli mereka tak lagi sama dengan refleksi mereka sendiri.

~•°•°•~


Aroma teh jahe menjadi hal pertama yang masuk ke dalam indranya sebelum Yooji membuka mata. Langit-langit kamar terlihat berputar-putar buram seolah bumi mendadak berotasi sepuluh kali lipat lebih cepat dari biasanya. Yooji menutup kembali kedua mata dengan telapak tangan —berharap segalanya berhenti berputar. Mengusap wajahnya dengan kasar, hingga kemudian tiba-tiba bangun terduduk dengan kepala yang justru terasa kian melegar.

Benar-benar tipikal Yooji. Semakin ia mengelak dari rasa sakit, semakin sakit pula rasa yang ia dapatkan setelahnya.

"Wah, wah, sudah bangun ternyata."

Satu suara masuk ke dalam indra pendengarannya, menyadarkan Yooji bahwa ia tak sendirian di ruangan itu. Merasa aman lantaran suara tersebut terdengar familiar, Yooji menyingkirkan telapak tangannya, lalu memusatkan penglihatan secara paksa hingga pandangannya perlahan berhenti berputar buram—menampakkan secara jelas wajah seseorang yang ternyata semenjak tadi berdiri menunggunya di sebelah tempat tidur.

"Giselle?! Kenapa ka—"

Tuk!

Belum sempat Yooji mengekspresikan keterkejutannya, satu sentilan di dahi malah ia dapatkan.

"Dasar tolol. Apa-apaan tidur di pemakaman umum di tengah hujan salju begini? mau cari mati, ya?"

"Dari mana ka—"

"Dari mana aku tau kau ada di sana? Well, aku mendapat telepon dari nomor asing, penjaga pemakaman umum katanya. Dia bilang ketika melihat kau tak sadarkan diri di sana, dia mencoba menghubungi nomor yang ada di kontakmu. Dan kau tahu apa? dia bilang di kontakmu cuma tersimpan nomorku dan Chaehyun. Dan ya... Siapa lagi yang bisa dia hubungi?" Rutuk Giselle panjang lebar.

"Lagipula apa motivasimu sampai berbuat tolol begini sih?! Walaupun ini tidak setolol saat kau mengalami pendarahan karena menyayat pergelangan tanganmu, tapi tetap saja aku tidak bisa menoleransi ketololanmu yang ini, Yoo Jimin."

Yooji yang masih dalam proses mengumpulkan nyawa dan kesadaran hanya menatap kosong Giselle yang lantas menyodorkan secangkir teh jahe hangat dari atas nakas padanya.

"Ini. Cepat minum. Tadi dokter sudah ke sini dan katanya kau terkena hipotermia."

Saat sedang awut-awutan begini Giselle mendadak jadi orang yang sulit dibantah—menurut Yooji. Maka dari itu ia hanya menurut meski belum memahami sepenuhnya ocehan si pemudi Jepang itu. Menyesap tehnya sedikit demi sedikit sembari melirik Giselle yang memilih mendudukkan diri di tepi kasur—masih dengan gurat wajahnya yang kusut semrawut.

Hening.

Yooji sibuk menghembus dan menyesap teh hangatnya secara repetitif, sedangkan Giselle yang duduk bersila tangan terus menatap Yooji tanpa berkedip seolah-olah tengah menagih hutang nyawa dari sang sahabat sebab telah diselamatkan olehnya.

Namun meskipun pada kenyataanya memang demikian, Giselle takkan pernah menyebutnya sebagai hutang budi. Bahkan sekalipun ia bangkrut dan harus menyelamatkan nyawa Yooji sekali lagi, ia akan melakukannya tanpa ragu dan takkan menganggapnya sebagai hutang yang harus ditagih. Sebab hutang tersebut akan langsung terlunasi hanya dengan cukup melihat sang sahabat bisa bernapas dan membuka matanya kembali.

UNFREEZE [jmj]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang