Reasons

509 79 9
                                    

"Apa kamu merasakan apa yang aku rasakan, Winter?"

Sesaat dunia rasanya berhenti berputar. Di antara dua insan itu, masing-masing tenggelam dalam iris satu sama lain, tak berkedip. Cahaya hijau sang aurora yang menembus kaca jendela menyirami keduanya, berkelap-kelip.

Winter bergeming, bingung ingin berkata apa. Rasanya ia seperti memiliki jawaban untuk pertanyaan yang ia tak mengerti, atau justru ia tak memiliki jawaban dari pertanyaan yang ia mengerti.

Sedangkan Karina bergeming dengan emosi yang sulit diterjemahkan. Ia tampak percaya diri seolah-olah jawaban Winter berada dalam ekspektasinya, namun di lain sisi juga takut jika jawaban Winter berada di luar ekspektasinya.

"Sebelum menjawabnya... apa aku boleh bertanya satu hal?"

Pertanyaan itu ditanggapi anggukan oleh Karina.

"Apa alasanmu mengizinkanku tinggal di rumahmu? A-ah, bukan, maksudku... kenapa kamu secara sukarela mau menyelamatku? Pada awalnya kamu ingin mengirimku ke panti sosial, tapi tiba-tiba kamu merubah pikiranmu begitu saja. Jadi aku hanya ingin tau... apa alasanmu?"

"Intuisi."

Singkat, padat, dan hanya makna ambigu yang didapat. Winter masih menunggu namun tampaknya Karina tak memiliki niat untuk menjelaskan lebih lanjut.

Maka dengan agak tidak sabar Winter bertanya lagi, "intuisi? Dari sekian banyak korban yang mengungsi, kamu memilih menyelamatkan seorang remaja yang terdampar di negara asing hanya karena intuisi?"

Karina hanya mengangguk.

"Itu tidak masuk akal."

"Kamu tidak percaya intuisi?"

Winter menggeleng. "Bukannya tidak percaya, hanya saja tiap kali aku memiliki firasat tentang sesuatu, pasti yang terjadi justru kebalikannya. Jadi aku jarang sekali mempercayai intuisiku."

"Intuisi itu bukanlah firasat tak berdasar." Karina beranjak, kemudian membuka jendela untuk duduk di kusennya, namun atensinya tetap tertuju pada Winter yang masih duduk di bawah.

"Aku yang menemukanmu sedang menangis sendirian di depan tenda. Aku yang menemukanmu terkapar— tertimbun tumpukan salju saat sedang berpatroli. Aku yang menyelamatkanmu saat sekarat. Lalu kemudian kamu yang datang mencariku untuk mendapatkan rasa aman itu kembali." Jelas Karina panjang lebar. "Aku juga berpikir, dari sekian banyak turis dan warga, kenapa aku hanya berempati padamu? Dan setelah peristiwa-peristiwa yang kita lewati, di situlah aku yakin bahwa firasatku itu merupakan sebuah intuisi."

Tak peduli dengan reaksi Winter yang terkesiap, Karina melanjutkan, "Intuisiku memilihmu. Mau tau kapan pertama kali aku mendapatkan firasat untuk menjagamu? Saat kita berkenalan di tenda pengungsian."

Winter bergeming. Agak mengejutkan mengetahui fakta bahwa ternyata Karina memang benar memperhatikannya, bukan sekedar melaksanakan tugasnya sebagai aparatur negara.

Intuisi;
Segala peristiwa yang terjadi dalam kehidupan merupakan sebab-akibat yang saling berkaitan. Dan sebab-akibat yang terjadi antara satu manusia dan manusia lainnya itu saling terhubung membentuk suatu pola.

Hanya manusia-manusia yang mempercayai intuisinya lah yang bisa melihat dan membuat keputusan berdasarkan pola-pola yang ada.

Karina selalu mempercayai intuisinya, bahkan ketika intuisinya mendorong dirinya untuk membuat keputusan yang tak masuk akal sekalipun.

"Jadi...kamu sungguh menyelamatkanku karena intuisi?" Tanya Winter.

"Sebenarnya ada dua alasan."

"Yang satu lagi apa?"

"Semenjak kejadian di rumah sakit, aku tau kamu menyukaiku."

Jika saja Winter ada di lantai dasar dan diperkenankan untuk keluar rumah, ia pasti akan menggali dan mengubur dirinya sendiri.

Karina yang peka terhadap perasaannya membuat Winter merasa terkejut, senang, sekaligus malu. Semua perasaan itu bercampur menjadi satu.

Lantas apa yang harus ia jawab mengenai pertanyaan Karina sebelumnya? Apa maksud 'perasaan yang sama' dengannya? Bagaimana cara Winter tau tentang apa yang Karina rasakan? Bukankah seharusnya ia yang mempertanyakan itu pada Karina?

Winter beranjak dan ikut mendudukkan diri di kusen jendela. "Kalau kamu memang tahu bagaimana perasaanku padamu, kenapa malah menanyakannya? Memang bagaimana perasaanmu padaku? Apa kamu juga menyukaiku?"

Detak jantung Winter seketika bergemuruh ribut. Pertanyaan demi pertanyaan yang ia lontarkan bahkan membuat dirinya sendiri terkejut. Entah apa yang mendorongnya berbicara terlalu blak-blakkan seperti itu.

Mungkin memang lebih baik minggat dari rumah ini dan mengubur diri hidup-hidup, pikir Winter.

"Aku tidak tahu." Jawab Karina, mengalihkan pandanganya kepada aurora yang membentang luas di langit, membuat Winter juga melakukan hal yang sama.

Ketika terdengar helaan napas panjang dari Karina, Winter lantas menoleh.

"Aku benci musim salju."

"Kenapa?"

Hening.

Satu menit.

Lima menit.

Sepuluh menit.

Atmosfer suasana yang secara perlahan terasa memberat pada akhirnya membuat Winter merasa bersalah. Mungkin musim salju merupakan topik yang sensitif bagi Karina, pikir Winter.

"M-maafkan aku. Tidak masalah jika kamu tidak ingin menjawab—"

"Aku dan tunanganku pernah mengalami kecelakaan pada saat musim dingin. Itu merupakan kecelakaan tunggal karena jalanan yang licin dan pada saat itu sedang badai salju." Meskipun dengan wajah yang datar, nada bicara Karina terdengar bergetar.

"Ini semua salahku. Padahal aku yang menyetir, tapi kenapa Tuhan harus merenggut nyawanya dan bukannya aku? Jika memang hidupnya harus berakhir dengan cara seperti itu, kenapa Tuhan tidak merenggut hidupku juga? Ini tidak adil."

Atmosfer suasana kian memberat dan Winter masih tak tau harus merespon dengan cara yang bagaimana.

"Itu bukan salahmu."

"Kamu tidak tau apa-apa, Winter."

"Ketika polar night ini berakhir dan akhirnya kamu bisa melihat matahari lagi, apa itu bisa menghilangkan rasa bersalahmu?"

Pertanyaan Winter membuat Karina seketika menoleh. Namun tak ada satu katapun yang mencuat dari mulutnya.

"Menurutku, manusia itu terlahir dengan hati yang membeku. Satu-satunya hal yang bisa meluluhkannya adalah kasih sayang." Ujar Winter. "Jadi semenjak kekasihmu tiada, tak ada lagi yang memberimu kasih sayang. Hatimu kembali membeku."

Karina hanya bisa terdiam. Menatap gadis di sampingnya dalam-dalam.

Mata sendu yang meneduhkan, hidung kecil namun bangir, bibir tipis yang mengulum senyum. Kilauan hijau aurora yang menerpa membuat garis wajahnya tampak semakin jelas dan tak nyata.

Demi apapun, Karina berani bersumpah bahkan jika pun dirinya seorang ateis sekalipun, ia setuju bahwa Winter adalah karya seni terindah yang pernah dibuat oleh Tuhan.

Terkadang aku lupa betapa cantiknya wajah gadis ini, pikir Karina.

"Winter, maukah kamu mengajariku cara menyukai musim dingin?"

Dan tentu saja, Winter takkan menolak.[]

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 13 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

UNFREEZE [jmj]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang