Kim Minjeong

1K 113 26
                                    

"Jadi tadi itu bukan percobaan bunuh diri?"

"Tentu saja bukan, tolol."

Tuk!

Kini giliran Yooji yang memberi sentilan pada dahi si pemudi Jepang. "Lagipula ada cara bunuh diri yang lebih baik daripada mengubur diri hidup-hidup di antara timbunan salju seperti itu."

Tuk!

Satu jentik balasan yang rasanya seperti disentil sepuluh jari sekaligus itu membuat Yooji sontak meringis.

"Tidak ada yang namanya cara bunuh diri yang lebih baik, dasar tolol. Semua tindakan bunuh diri itu buruk. BURUK! Jadi jaga ucapanmu, Yoo Jimin. Aku serius."

"Ya, ya, aku tahu. Maaf."

Giselle mendengus. Sengaja membuang napasnya jengah. "Yooji, coba jujur padaku. Apa saat di makam tadi... kau sempat berpikir benar-benar ingin mati?" Tanyanya dengan nada pelan namun penuh penekanan. "Maksudku, normalnya tubuh manusia akan bereaksi saat kedinginan dan secara otomatis naluri pun menuntun untuk mencari kehangatan. Sungguh aneh jika kau bisa pingsan di sana. Jika kau tanya aku, satu-satunya alasan yang masuk akal adalah kau sengaja berdiam diri di sana hingga tak sadarkan diri. Dan itu karena pikiranmu—"

"Memang benar aku sempat berpikir begitu," Sela Yooji tanpa ada niatan membantah ataupun mencari pembelaan. Ia pun paham bahwa saat ini Giselle pasti masih dirundungi kekhawatiran.

"Pada awalnya aku hanya merindukan Chaehyun. Tapi semakin lama, aku malah terus tenggelam dalam emosi negatifku sendiri. Pemikiran untuk mati itu tidak menghampiriku, akulah yang datang padanya. Itulah mengapa aku tak ingin beranjak dari sana."

Maka pada hari itu, untuk pertama kalinya Yooji mengulum senyum. "Terima kasih sudah menyelamatkanku lagi, Aeri."

Giselle termangu. Sungguh di luar dugaannya seorang Yoo Jimin secara terang-terangan menunjukkan keretakan dalam jati dirinya yang kokoh. Di matanya, sosok Yooji tetaplah seseorang yang berkarakter tangguh. Namun jika Yooji bercermin melalui pandangannya, bagaimana bisa ia tak ragu bersikap layaknya pribadi yang rapuh? Apa Yooji tak takut kehilangan identitas diri yang selama ini ia junjung di atas egonya yang tinggi?

Giselle serta-merta teringat pada kejadian sepuluh bulan yang lalu; tatkala ia harus memacu mobilnya menuju rumah sakit tepat setelah mendapat telepon dari penjaga apartemen Yooji bahwa sahabatnya itu ditemukan nyaris tak bernyawa. Darah tak henti mengucur deras dari pergelangan tangan, deru napas yang terputus-putus mencoba mengais kehidupan, wajah memucat menandakan sang empu yang tak kuasa menahan kesakitan.

Yooji sekarat. Dan seandainya saja ia ditemukan lebih lambat, barangkali ia sudah menjadi mayat. Hidupnya tamat.

Namun apa yang Giselle dapatkan setelahnya justru ledakan amarah dari sang sahabat.

"Aku tidak apa-apa!"

"Apa yang kau tangisi? Tidak usah berlebihan, Aeri. Yang jelas sekarang aku masih hidup 'kan?"

"Pergilah! Aku butuh waktu sendiri."

Keras hati, memang.

Yooji itu definisi sesungguhnya dari keras hati. Sekeras batu yang tak bisa dilapukkan, sekeras kaca yang tak bisa dipecahkan, sekeras baja yang tak bisa dilelehkan; karena apapun perumpamaannya, perasaannya memang sulit dipengaruhi. Mungkin, hatinya telah mati.

Itulah mengapa kali ini Giselle dibuat begitu cenung akal. Sebab Yooji yang ada di hadapannya kini tak seperti Yooji yang ia kenal. Entah si pemudi Yoo yang memang tiba-tiba berubah, atau —yang lebih buruk— memang telah kehilangan jati dirinya.

Sedangkan pada hari itu Yooji pun tertawa untuk yang pertama kalinya lantaran melihat reaksi sang sahabat. Membuat si pemudi Jepang kembali tersadar dan merocos mengungkapkan keluh kesahnya.

"You're so.... insufferable, Yooj." Decak Giselle seraya berdiri dari kasur. Beranjak untuk mendudukkan diri di kusen jendela, membelakangi dunia luar yang terpampang lebar. "Siapa nama gadis itu? Kim Minjeong, 'kan? that girl must be something."

Kedua alis Yooji sontak terangkat, menanti Giselle melanjutkan kalimat.

"Something like... Mungkin dia itu sejenis rayap yang bisa melapukkan hatimu yang sekeras batu —atau sejenis benda solid yang bisa memecahkan hatimu yang sekeras kaca —atau sejenis cairan korosif yang bisa melelehkan hatimu yang sekeras baja—atau—"

"Minjeong itu manusia, Aeri."

"Kalau begitu bagaimana bisa orang yang baru kau kenal dapat dengan mudahnya membuatmu menangis hanya dengan kata-kata? I mean, she crossed the line, Yooji. Dia secara misterius bisa mengetahui rahasiamu dan menggunakannya untuk memojokkanmu. Lalu membuatmu merasa bersalah dengan kalimat-kalimat bijaknya sehingga membuatmu justru berakhir menyendiri di makam Chaehyun. She literally manipulated you emotionally, y'know? Dan sekarang kau sungguh berkata sudah merasa lebih baik? it doesn't make sense, if you asked me."

Yooji terdiam. Tak pernah terlintas sedikitpun dalam benaknya bahwa Minjeong adalah sosok yang manipulatif. Dan yang terpenting, pribadi seperti dirinya jelas bukanlah tipe yang mudah dimanipulasi.

Namun saat novel 'Amor Fati' yang tergeletak di atas nakas tertangkap netranya, Yooji sedikit demi sedikit mulai memahami sesuatu dan setuju dengan perkataan Giselle.

Semua novelis itu manipulatif. Tiap kata yang diuntai menjadi frasa ataupun kalimat memliki kekuatan untuk memperdaya pembaca. Terlebih jika tulisannya terbait indah mempesona, dan memiliki keistimewaan untuk membuat imajinasi laksana nyata. Semakin hebat seorang novelis, maka semakin manipulatif pula karyanya.

Minjeong adalah seorang novelis. Dan kurang hebat apa kemampuan gadis itu sampai-sampai bisa membuat Yooji berpikir bahwa dirinya adalah Karina dan Minjeong adalah Winter?

"Giselle, apa kau sudah membaca novel Amor Fati?"

"Amor Fati?" Giselle nampak berpikir sejenak. "Ah, novel best seller dari perusahaan kita sebulan belakangan ini, ya. Penulisnya Minjeong. Aku ingin membacanya tapi belum sempat. Kenapa? Apa hubungannya dengan topik kita sekarang?"

"Kau benar," Jawab Yooji yang sepasang obsidian gelapnya masih terpaku pada novel di atas nakas. "Minjeong itu memang something. Tapi bukan sebagai seekor rayap ataupun benda solid ataupun cairan korosif —seperti analogi-analogi konyolmu barusan."

Giselle sontak tertawa. Ternyata Yooji di hadapannya tetaplah Yooji yang ia kenal; suka menanggapi serius lelucon jayus yang ia lontarkan. "Lalu something yang seperti apa menurutmu?"

"Entahlah,"

Tak tahan, Yooji segera beranjak meraih novel Amor Fati sebelum kembali terduduk di tempatnya semula. Hanya dengan menatap cover novel itu saja sudah cukup membuatnya menghela napas panjang.

"Mungkin jawabannya ada di dalam novel ini."[]



Author's Note :
Untuk beberapa chapter selanjutnya bakal fokus ke universe Karina x Winter yaa

UNFREEZE [jmj]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang