Dua Puluh Delapan

201 28 71
                                    

Merasa sudah cukup tenang, Zyan melonggarkan pelukannya dan kembali menatap Berlin yang juga menatapnya balik.
Keduanya saling melempar pandangan yang tak bisa diartikan, tanpa disadari jarak diantara keduanya mulai terkikis, entah siapa yang memulai mengikis jarak tersebut yang pasti sekali gerakan lagi maka jarak itu akan terkikis.

Zyan menatap mata Berlin seakan meminta izin, tetapi yang ditatap hanya menutup mata sekan mengizinkan.

Zyan mengikis jarak diantara mereka dan...

Cup...
Kecupan mendarat tepat diatas bibir Berlin.

Berlin yang merasakan itu hanya bisa tersenyum dalam diam, kalau boleh jujur sekarang juga, perasaan Berlin sangat senang, karena orang yang mengambil first kissnya adalah orang yang Ia kagum, Bahkan bukan hanya mengaguminya tetapi juga mencintai lelaki itu.

Asik menikmati kegiatan mereka, tiba-tiba pintu terbuka, dan...

Bruk!
"Berlin!" teriak seseorang yang baru saja memasuki ruangan tersebut.

"Apa yang kalian lakukan!" teriaknya sekali lagi.

Mendengar pintu yang didorong serta  suara yang meninggi, Berlin dan Zyan langsung menyudahi kegiatan mereka tersebut.

"A-ayah." ya orang yang baru saja memasuki ruangan itu adalah ayahnya Berlin, Berlin yang melihat ayahnya itu, tiba-tiba langsung gugup dan takut.

"Ayah kecewa sama kamu Berlin!"
"Hei! Kamu siapa ha! Seenaknya melakukan hal yang tidak wajar kepada putriku!" Daren benar-benar sangat marah, melihat lelaki yang mencium putrinya hanya diam, tiba-tiba Daren langsung mengambil langkah lebar dan melayangkan sebuah pukulan tepat di sudut bibir Zyan.

Bugh!
Pukulan Daren bukan main keras, sehingga menimbulkan memar serta darah yang mengalir banyak dari sudut bibir Zyan.

Melihat ayahnya yang marah, Berlin langsung berdiri dan memeluk ayahnya dengan kencang.

"Hiks... Ayah... Maafin Berlin... Berlin tahu Berlin salah... Tapi tolong jangan lukai dia...hiks...hiks..." Berlin memeluk ayahnya dengan erat berharap sang ayah meredakan emosinya, tetapi harapan Berlin benar-benar tidak tercapai, bukannya luluh, Daren semakin marah dan langsung menghempaskan tangan Berlin dengan kencang.

"Kamu membela laki-laki ini, ha! Apa kamu tidak tau apa yang sedang kalian perbuat, ha!" teriak Daren tepat dihadapan Berlin, Ia tidak bisa mengontrol emosinya, orang tua mana yang senang jika melihat putrinya diperlakukan seperti itu?

Zyan terdiam tanpa mengucapkan sepatah kata, Ia mengusap darah yang mengalir di sudut bibirnya, bukannya merasa takut, Zyan malah balik menatap laki-laki paruh baya itu dengan tatapan tajamnya.

"Maaf sebelumnya om, tapi emang perbuatan apa yang kami berdua lakukan sehingga membuat om marah seperti ini?" tanya Zyan dengan ekspresi datarnya, bukannya tidak mengerti, tetapi Zyan tidak habis pikir hanya gara-gara sebuah ciuman membuat paruh baya ini sangat marah.

"Perbuatan apa kata kamu?! Dasar anak tidak tahu malu!" emosi Daren kembali meluap, mendengar Zyan berucap seperti itu membuat Daren sangat marah.

"A-ayah...," lirih Berlin sembari menggenggam erat kepalan tangan Daren, bukannya luluh, Daren semakin marah dan menghempaskan tangan Berlin dengan kencang.
Berlin yang masih belum sepenuhnya pulih mendapatkan perlakuan seperti itu dari sang ayah tiba-tiba langsung kehilangan keseimbangan.

Melihat Berlin yang hampir terjatuh, Zyan bergegas menopang tubuh Berlin dan langsung membawanya kedalam pelukannya.

"Shit! Bukan seperti ini caranya memperlakukan seorang wanita, om!" Zyan tersulut emosi, dengan tangan yang masih setia memeluk Berlin, Ia menatap ayah Berlin dengan tajam, seolah-olah menantang pria paruh baya itu.

"Kamu mengajari saya cara untuk memperlakukan wanita? Lantas perbuatanmu barusan pantas dibilang memperlakukan wanita dengan baik, ha?! " jawab Daren dengan wajah yang sudah memerah, Ia menggertakan giginya menahan kesal, dan langsung mendekati Zyan yang masih setia memeluk Berlin dengan erat.

" Lepaskan putri saya!" tanpa basa-basi Daren langsung menarik paksa Berlin dari dekapan Zyan.

Melihat perlakuan kasar pria paruh baya itu, Zyan bukannya melepaskan Berlin, Ia malah menarik balik Berlin dengan kencang.
Zyan menyembunyikan Berlin tepat di belakang punggungnya, Ia mendekati ayah Berlin dengan wajah yang merah padam dan langsung melayangkan pukulan tepat di sudut bibir ayah Berlin.

Bugh!
Pukulan Zyan tepat mengenai sasaran, Ia tersenyum ketika melihat pria paruh baya itu tersungkur dengan darah yang mengalir dari sudut bibir ayah Berlin.

Belum puas akan pukulannya itu, Zyan kembali mendekati ayah Berlin dan langsung memegang kerah baju Daren dengan kencang.

"Jangan main-main dengan saya, om!" ucap Zyan geram tepat di samping telinga Daren, baru saja akan melayangkan kembali pukulannya tiba-tiba Zyan mendengar dua teriakan yang membuat dirinya mengurunkan niatnya.

"Zyan!"
"Zyan! Lo udah gila, ha!"
Teriakan itu membuat Zyan menoleh pada sumber suara, Ia melihat Jerome dan Berlin yang menatapnya terkejut.

Melihat Zyan yang lengah, Daren mengambil kesempatan untuk memukul kembali Zyan.

Bugh!
Pukulan Daren mengenai sudut bibir Zyan yang sebelahnya, kali ini Zyan benar-benar tersungkur.
Mendapatkan pukulan seperti itu, dengan cepat Zyan berdiri dan langsung menyerang Daren dengan duduk diatas perut Daren sembari memegang kerah baju pria paruh baya itu dengan kencang.

Baru akan melayangkan pukulan, tiba-tiba Zyan merasakan tangannya yang ditarik oleh seseorang.

"Zyan, he-hentika! Hiks...," orang yang menarik tangan Zyan adalah Berlin, Berlin menangis dengan sesegukan, melihat ayahnya yang hendak dipukuli Berlin merasa sangat tidak tega, anak mana yang bisa melihat ayahnya dipukuli didepan matanya sendiri?

Mendengar suara Berlin, seketika Zyan langsung melonggarkan genggamannya dan langsung berdiri menjauhi ayah Berlin.
Zyan menatap iba pada Berlin, Ia mengusap wajah Berlin dengan sayang.

"Maafin gua, Berlin." ucap Zyan sembari menghapus jejak-jejak air mata Berlin yang membekas di pipi Berlin.

Zyan hendak membawa Berlin dalam dekapannya, tetapi hal itu tidak terjadi ketika Berlin ditarik  paksa oleh ayah Berlin dengan keras.

"Ayo pulang!" Daren menarik tangan Berlin menjauhi Zyan, Ia menarik paksa Berlin dan langsung membawanya keluar dari dalam ruangan itu.

Melihat Berlin yang ditarik, Zyan langsung langsung mengejar Berlin, tetapi lagi-lagi gerakannya ditahan oleh seseorang.

"Jangan memperburuk keadaan, Zyan." ucap Jerome sembari menghentikan Zyan yang akan mengejar Berlin.

"Apa lu gak liat ayah Berlin memperlakukannya tidak baik?!" Zyan menghempaskan tangan Jerome dengan kencang.

"Apa lu mau Berlin semakin tersiksa, hanya gara-gara tingkah ceroboh lo!" ucapan Jerome seketika membuat Zyan sadar.

"Jangan membuat hal-hal bodoh Zyan, lu itu udah gede, seharusnya lu ngerti mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak. Lu gak ada hak buat ngelarang ayahnya Berlin membawa Berlin pergi!" ungkap Jerome panjang lebar, Ia mencoba membuat Zyan sadar, emosi yang meluap dalam diri Zyan bisa-bisa membuat Zyan berbuat nekat.

"Mending sekarang lo pulang dan tenangin diri lo. Lo bisa nanyain kabar Berlin besok saat sekolah." ucap Jerome lagi.

Mendengar ucapan Jerome, tiba-tiba Zyan sadar akan perlakuannya, Ia langsung meninggalkan Jerome tanpa kata dan langsung meninggalkan rumah sakit itu dengan ekspresi datarnya.

BERSAMBUNG

Jangan lupa tinggalkan jejaknya 🤗🙏

Mengagumi Gangster SekolahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang