Berbaikan

67 5 46
                                    

Yunita mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat di pangkuan. Untuk yang kesekian kalinya ia kembali menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Sepasang mata bulatnya menatap gusar ke arah pintu kayu yang baru saja ditutup.

Di hari keeempat karantina, sejak pagi hingga sore semua peserta disibukkan dengan psikotes dan wawancara. Tadi pagi ia sudah menyelesaikan psikotes dengan baik - menurut penilaiannya sendiri. Dan saat ini ia sedang menunggu gilirannya untuk melakukan tes wawancara.

Bisa dibilang, ini adalah salah satu sesi yang paling menegangkan bagi para peserta. Sebab hasil dari psikotes dan wawancara memiliki nilai yang besar dalam menentukan kemenangan mereka di grand final nanti.

Ketika menyapu pandangan ke sekeliling, ruangan bercat krem itu nampak lengang. Teman-temannya sudah banyak yang kembali ke kamar selepas keluar dari ruangan yang pintunya tertutup itu. Hanya menyisakan 6 peserta saja termasuk dirinya sendiri.

Yunita menundukkan kepala dan  memejamkan mata, berharap tindakan sederhana itu bisa menghilangkan rasa gugupnya. Saat berdoa, ia merasakan telapak tangan lain menangkup kedua tangannya yang masih terkepal di pangkuan.

Tangan itu terasa hangat, membuatnya refleks membuka mata dan menemukan sosok Citra sudah berada di hadapannya - duduk di kursi yang sengaja digeser agar bisa berada tepat di depan Yunita.

Ia refleks menarik kedua tangannya. Matanya membulat sesaat, lantas memicing ketika melihat senyum cerah di wajah Citra.

"Kamu pasti bisa. Semua akan baik-baik saja." Ucap Citra menyemangati.

Yunita mengalihkan pandangannya ke arah lain beberapa detik, berpikir. Perlahan kepalanya mengangguk,  membenarkan ucapan gadis itu.

"Yun, aku minta maaf karena telah membuatmu jatuh dua hari lalu."

Permintaan maaf dari Citra terdengar tulus, meskipun Yunita tidak sedang memandang wajah teman yang pernah ia benci itu.

"Kakiku sudah tidak apa-apa." Lapor Yunita seraya menggerak-gerakkan kaki kanannya yang sudah bisa mengenakan heels 12 cm sama seperti yang lainnya. Gadis itu kembali memandang Citra dan menemukan sorot mata penuh syukur tengah mengamati kaki kanannya.

"Sejujurnya, aku benar-benar gugup." Aku Yunita setelah ada jeda di antara keduanya.

"Boleh aku berbagi cara pandangku tentang tes ini?"

Yunita mengangguk ragu, membuat Citra kembali bercerita, "Aku menganggapnya sebagai jumpa fans. Cara itu membuatku merasa tak sabar untuk bertemu, bercerita, dan menunjukkan semua kemampuanku kepada dewan juri. Bayangkan saja jika tes ini kuanggap sebagai beban, tentu aku akan melakukannya dengan enggan."

"Cara pandang yang menarik." Komentar Yunita singkat.

Meskipun begitu, dalam hati ia mengiyakan ucapan itu, dan sedang berusaha mengikuti saran dari Citra.

"Citra dan Yunita, giliran kalian."

Suara panitia yang menginterupsi percakapan mereka, membuat keduanya kompak berdiri dari kursi dan bergegas masuk ke ruangan itu.

Yunita berjalan lebih dulu, menahan pintu agar Citra bisa ikut masuk. Tanpa perlu mengatakannya secara langsung, Yunita memutuskan untuk berdamai dengan kejadian dua hari lalu.

***

Selesai membersihkan diri dan berganti baju tidur, Wina langsung merebahkan dirinya di kasur seraya menutupi hampir seluruh tubuhnya dengan selimut tebal. Gadis itu berusaha mencari posisi yang nyaman, berharap bisa meredakan pening di kepala dan rasa sakit di perutnya.

YouthifulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang