Viola tersentak kaget dan kembali menoleh ke belakang untuk menatap wajah prianya. Tampak sorot mata Gray yang membuat Viola tak tega untuk meninggalkannya. Gadis itu tersenyum dan kembali duduk di kursi seraya menggunakan tangannya yang lain untuk mengusap lembut pipi Gray. Lelaki itupun sebenarnya bingung, entah kenapa ia selalu ingin terus berada disisi Viola.
"Kamu bisa temani aku sebentar lagi?" Gray menatap kearah lain dengan wajahnya yang tampak merona merah.
"Aku bisa, kok. Tapi, aku sedikit heran padamu." Ucap Viola yang membuat Gray menaikkan alisnya bingung.
"Heran?"
"Aku gak nyangka, loh, kamu bisa suka dengan cewek yang berusia 2 tahun diatasmu." Viola tertawa kecil dan membuat Gray tersipu.
"Ah, i-itu, kupikir hanya perasaan kagum atau semacamnya. Ketika pertama kali melihatmu, entah kenapa itu membuatku tertarik untuk lebih dekat denganmu. S-Setelah kita menjadi akrab, aku mulai merasakan perasaan seperti... cinta?" Ucap Gray yang pikirannya kini melayang entah kemana.
"Tanpa alasan, ya? Aku memang pernah dengar kalau rasa cinta dan kagum itu berbeda. Misalnya seperti aku suka kamu karena tampan, hal itu bisa disimpulkan sebagai rasa kagum. Lain halnya kalau aku suka denganmu, tapi aku gak bisa menjelaskan kenapa aku menyukaimu." Ucap Viola sembari mengulas senyum lembut.
"Kamu... sepertinya tahu banyak soal cinta, ya?"
"E-Eh? Gak, kok. Aku cuma pernah mendengarnya saja." Viola menggeleng dengan senyum canggungnya yang menurut Gray menggemaskan.
"Yah, dilihat darimana pun kamu memang jauh berbeda dengan Lucy." Gray menatap ke atas dan tersenyum sendu.
"Gray, jangan membahas mantanmu kalau sedang berbicara denganku." Wajah Viola seketika berubah menjadi cemberut dan membuat Gray sedikit bingung.
"Apa? Wah, ceritanya kamu cemburu, nih? Tenanglah, aku 100% hanya cinta padamu saja, kok." Gray tertawa kecil, tangannya ia gunakan untuk mengusap lembut surai Viola.
"Em iya, sih. Buktinya kamu terus menahanku disini." Ucap Viola seraya menopang dagunya dengan tangan kanannya.
"Eh? K-Kamu boleh pulang sekarang, kok." Gray mengalihkan perhatiannya guna menyembunyikan wajahnya yang memerah.
"Haha, kalau gitu, aku pulang sekarang, ya? Kak El pasti sudah menungguku di apartemen."
Viola mengulas senyum lembut dan perlahan beranjak dari kursi. Jujur saja Gray sedikit menyayangkan kepergiannya, namun ia berpikir masih ada hari esok. Ketika telah menyentuh knop pintu, Viola kembali membalikkan tubuhnya seolah ada sesuatu yang hendak ia katakan pada Gray.
"Btw, kamu gak perlu memikirkan soal biaya rumah sakit. Saat Tuan Alan menjengukmu kemari, beliau mengatakan akan menanggung seluruh biayanya."
Gray mengangguk pelan, pertanda bahwa ia paham dengan perkataan Viola. Tak lama setelahnya, gadis itu mulai membuka pintu kamar dan melangkah keluar dari dalam sana. Tepat ketika ia menutup pintu, kedua maniknya bergetar karena ia baru ingat bahwa dirinya takut dengan koridor rumah sakit di malam hari karena suasananya yang gelap.
"Haruskah aku melewatinya untuk bisa pulang?" Batin Viola yang tampaknya masih ragu untuk berjalan sendirian melewati koridor yang cukup panjang.
Sosok lelaki muda berseragam putih dan berkacamata sukses mengejutkan Viola dengan menepuk pelan pundaknya. Gadis itu reflek menengok kearah orang tersebut yang tersenyum sendu padanya. Viola menghela nafas lega karena sosok tersebut merupakan seorang penjaga kamar mayat yang kebetulan berjalan melewati koridor yang sama dengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kelabu (Seri 1)
RandomGray merupakan seorang lelaki pelajar yang masih menduduki bangku kelas 3 SMA. Dirinya harus menghadapi nasib broken home lantaran sang Ayah yang selalu bersikap acuh padanya. Semenjak sang Ayah menikah dengan sosok wanita muda yang cantik namun ego...