❤ [ Bab 25 ]

175 18 3
                                    

Pipi Viola tampak semerah tomat ketika menangkap maksud dari perkataan Gray. Saat itu pula Viola terkejut ketika Gray tiba-tiba beranjak dari bangkunya dan membuang bungkus roti yang telah habis ke tempat sampah. Lelaki itu mengulurkan tangannya pada Viola dan disambut hangat olehnya masih dengan wajahnya yang tampak bingung.

"Ayo, ke bengkel pandai besi."

Kedua manik Viola seketika berbinar dan mengikuti Gray menuju tempat dimana ia memarkirkan motornya. Segeralah mereka melaju pergi meninggalkan area taman dan menuju bengkel pandai besi tempat Gray bekerja paruh waktu. Angin semilir menyibak halus rambut Viola yang di gerai, gadis itu masih melingkarkan lengannya pada pinggang Gray karena hal itu selalu membuatnya merasa nyaman ketika naik motor berdua dengan Gray.

KRINCING!

Lonceng diatas pintu berbunyi ketika mereka masuk ke dalam bengkel. Kakek Simon menyambut keduanya dengan senyum tulus terutama pada sosok gadis yang dibawa Gray. Viola menjabat tangan Kakek Simon yang terasa kasar karena sehari-hari sibuk dengan besi. Ini pertama kalinya Viola melihat langsung proses pembuatan alat-alat yang berhubungan dengan besi seperti pisau, sabit, palu dan lain-lain.

"Melihat kalian berdua membuatku teringat pada anak dan juga menantuku. Aku masih dapat mengingatnya dengan jelas saat Peter memohon-mohon padaku untuk merestui hubungannya dengan Manna, menantuku saat ini." Ucap Kakek Simon sembari tertawa kecil ketika mengingat masa lalunya.

"Beliau pasti sangat mencintai istrinya." Ucap Viola yang tampaknya tersentuh pada hubungan Peter dan Manna.

Kakek Simon kemudian meminta Gray untuk menjaga bengkelnya untuk sementara waktu karena ia harus pergi ke kedai untuk membeli sesuatu. Pria paruh baya itu segera pergi keluar dari sana dan menitipkan bengkelnya pada Gray. Lelaki itu sedikit gugup karena kini hanya tinggal mereka berdua yang masih berada di dalam bengkel.

"Vio."

"Gray."

Situasi kembali canggung lantaran mereka tak sengaja memanggil satu sama lain secara bersamaan. Keduanya sama-sama malu untuk saling menatap dan hanya mengalihkan perhatian mereka kearah lain. Gray menyadari wajah Viola yang tampak berkeringat karena merasa panas duduk didekat tungku api yang masih menyala.

"Maaf, kamu kepanasan, ya? Mau ke depan dulu?" Tanya Gray seraya menyeka keringat Viola dengan sapu tangan yang ia bawa.

"Ah, i-itu gak perlu. Aku masih ingin disini dulu hingga Kakek Simon kembali." Ucap Viola ragu-ragu menatap wajah Gray yang cukup dekat dengannya.

"Kamu yakin?"

Tampak sorot mata Gray yang menatap khawatir pada Viola. Gadis itu berusaha membuat Gray tenang dengan memegang lembut tangannya. Entah apa yang merasukinya, Gray tiba-tiba menarik tangan Viola dan membuat wajah mereka semakin berdekatan. Tentu saja hal itu membuat Viola tersentak kaget dengan jantungnya yang berdegup kencang.

Viola menutup kedua manik magentanya, pertanda bahwa ia telah membuka jalan untuk Gray. Saat itu pula Gray menjadi yakin dengan tindakannya selanjutnya. Dengan lembut tangan kanannya mengusap lembut pipi Viola seraya semakin mendekatkan wajahnya. Gray berniat akan memberi kecupan lembut di bibir, namun kegiatannya harus terhenti ketika mendengar lonceng diatas pintu berbunyi.

"Permisi, saya datang untuk memesan pisau daging. Ah, Anda orang yang membantu Kakek Simon disini, kan? Apa saya bisa minta tolong pada Anda?" Ucap sosok pria yang telah berusia sekitar puluhan tahun.

"T-Tentu, saya membutuhkan waktu 3 hari untuk membuatnya. Anda bisa datang lagi kemari di hari sabtu." Ucap Gray yang tiba-tiba terbata, untunglah ia cepat-cepat menjauh dari Viola sebelum ia benar-benar menciumnya.

Kelabu (Seri 1) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang