Gray mengernyit sembari menutup kedua maniknya, berusaha menahan rasa sakit di dadanya. Viola yang menyadari hal itu dengan sigap memeluk Gray dan mengusap lembut punggungnya. Seharusnya ia juga meminta tim medis untuk memeriksa tubuh Gray supaya mengetahui apakah ada penyakit dalam yang diderita olehnya atau tidak.
"Gray, kenapa kamu gak bilang kalau punya riwayat penyakit? Seharusnya aku meminta Dokter untuk memeriksa apakah ada penyakit didalam tubuhmu."
"Aku baru-baru ini merasakannya, mungkin beberapa minggu sebelumnya. Tapi, jangan khawatir. Rasa sakitnya akan menghilang dengan sendirinya."
Meski Gray berbicara begitu, tampaknya hal itu tak cukup untuk membuat Viola berhenti mencemaskannya. Namun tak lama setelahnya, Gray merasa jauh lebih baik lantaran rasa sakitnya perlahan mereda. Lelaki itu tersenyum lembut pada Viola yang masih mendekap tubuhnya saking cemasnya.
"Aku baik-baik saja, Vio. Ya ampun, ternyata kamu bisa menangis juga, ya?" Ucap Gray tertawa kecil sembari mengusap pipi Viola yang basah akibat air mata.
"Ah, aku terlalu mencemaskanmu. Bagaimana kalau kita ke rumah sakit besok? Aku gak mau terjadi sesuatu yang buruk padamu." Ucap Viola perlahan melepas dekapannya.
"Yah, kurasa itu ide yang bagus. Tapi, aku harus berangkat sekolah besok. Jangan khawatir, aku akan pergi periksa sepulang sekolah."
"Aku akan menemanimu ketika jam istirahat. Bagaimana kalau besok kita bertemu lagi di Berry Sweet setelah kamu pulang sekolah?" Tanya Viola yang membuat Gray berpikir sejenak.
"Boleh saja, sih, cuma aku gak mau membuat waktu istirahatmu terpotong karena menemaniku ke Dokter." Ucap Gray yang membuat Viola sedikit mengernyitkan dahinya.
"Hei, walau gajiku terpotong sekalipun aku gak peduli kalau itu menyangkut soal kondisi tubuhmu. Aku sama sekali gak keberatan kalau itu bersangkutan denganmu, kok." Ucap Viola menatap lekat kedua manik Gray seraya menggenggam kedua tangannya.
"Wah, jadi aku lebih diprioritaskan, nih? Yah, kalau dipikir-pikir, kamu memang jauh berbeda dengan Lucy." Ucap Gray sambil menopang dagunya seolah tengah mengingat sesuatu.
"Lucy?" Viola menaikkan sebelah alisnya bingung, sementara Gray masih memikirkan sesuatu yang hendak ia katakan pada Viola mengenai mantannya.
"Ah, dia mantanku, Lucia Torsten. Gadis itu lebih kecil dari kamu, terutama ukuran itunya." Ucap Gray yang masih menopang dagunya dengan salah satu tangannya.
"Eh? Itu?" Tanya Viola memiringkan kepalanya seolah tak mengerti maksud dari perkataan Gray.
"B-Bukan apa-apa, kok. Dia juga hanya setinggi dadaku, rambutnya ikal berponi. Hm, mungkin itu hanya ciri-ciri yang gak begitu penting. Intinya dia jauh berbeda denganmu terutama soal sikap. Kalau dia gak memutuskanku, mungkin aku masih bersamanya sampai sekarang karena meski sikapnya lebih dominan, sebenarnya dia gadis yang baik." Ucap Gray seraya tersenyum dan menutup kedua maniknya sejenak.
"Begitu rupanya. Tapi, kenapa dia memutuskanmu?"
"Karena dia sudah nyaman dengan Nathan, pacar barunya. Tapi, dari awal dia memang sudah berniat mengkhianatiku dengan menjalin hubungan diam-diam dengan Nathan yang merupakan teman sekelasku juga." Ucap Gray seraya tersenyum kecut dan membuat Viola menatap iba padanya.
"Kamu... masih mencintainya?" Tanya Viola yang membuat Gray menghela nafas pelan.
"Mencintainya? Untuk apa aku mencintai orang yang sama sekali gak memikirkan perasaanku? Aku sudah menganggapnya seperti orang asing sama seperti dia menganggapku." Ucap Gray kini menatap kedalam manik magenta milik Viola.
"Kamu gak akan ninggalin aku kan, Gray?" Tanya Viola kini menyandarkan tubuhnya pada pundak Gray.
"Selama kamu nyaman denganku, aku gak akan ninggalin kamu apapun yang terjadi karena kamu adalah orang yang berharga bagiku." Ucap Gray seraya melingkarkan lengannya pada pundak Viola.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kelabu (Seri 1)
AcakGray merupakan seorang lelaki pelajar yang masih menduduki bangku kelas 3 SMA. Dirinya harus menghadapi nasib broken home lantaran sang Ayah yang selalu bersikap acuh padanya. Semenjak sang Ayah menikah dengan sosok wanita muda yang cantik namun ego...