Tidak ada lagi yang tersisa. Itulah yang Kallana rasakan saat ini.
Kegagalan kedua orangtuanya membuat ia sadar, jika sepertinya ia juga akan merasakan kegagalan itu.
Sudah berhari-hari, dan Kallana masih merasakan kekecewaan itu. Hingga rasa trauma dari apa yang ia alami selama ini terasa lebih besar. Semakin dalam dan menghantuinya.
Luka dari kedua orangtuanya kini malah terasa nyata untuk dirinya. Karna itu, kini ia memutuskan untuk hidup sendiri. Mungkin menjalani kehidupan seperti bibinya tidak akan membuat ia merasakan sakit yang teramat hebat.
Pukul empat sore, Kallana selesai dengan semua tugasnya. Karna itu ia duduk di halte bis, menunggu angkutan umum seperti biasa. Yang akan mengantarkannya untuk kembali ke rumah.
Jika dulu ia akan langsung sibuk dengan ponselnya, menanyakan keberadaan Satria dan saling bertukar kabar. Kini ia hanya diam termenung. Menatap lurus ke depan dengan pandangan menerawang. Segala ucapan Satria tempo hari masih sering mengusiknya, masih sering membuatnya diam-diam menangis dan merasakan sakit yang teramat hebat.
Seakan luka dari perpisahan kedua orangtuanya membuat lukanya kembali menganga lebar. Semakin terasa menyakitkan dan mengerikan.
Apa ia juga akan bernasib sama seperti ibunya?
Atau lebih parah lagi? Yang tidak akan ada pria yang tulus mau dengannya. Karna mereka mungkin hanya akan bersamanya sekedar untuk bermain-main seperti Satria? Seperti yang pria itu katakan, jika pria normal mungkin tidak akan ada yang mau hidup dengan seorang wanita yang keluarganya berantakan seperti keluarganya.
Kallana menundukkan pandangannya, menatap ujung sepatutnya yang runcing.
"Lana?"
Ada wajah terkejut mendengar sapaan seseorang di depannya. Begitu mendongak, wajah Kallana kian berubah kaku. Apalagi saat orang itu tersenyum lebar menatapnya.
"Ternyata benar kamu, Lana. Aku kira tadi aku salah orang." Tanpa permisi dia mengambil tempat duduk di samping Kallana membuat Kallana langsung menggeser duduknya menjauh. Ke sini lainnya, hingga mungkin-seperti ada satu orang yang duduk diantara mereka.
"Kamu baru pulang mengajar?"
Kallana hanya mengangguk, kembali menoleh ke arah samping saat orang disampingnya kembali menggeser duduknya mendekat.
"Bagaimana jika aku mengantarmu pulang?"
Kallana segera bangkit, menyampirkan tasnya di pundak. Lalu menoleh.
"Tidak perlu. Aku sudah biasa pulang sendiri."
"Lana, tunggu."
Antara terkejut dan panik, Kallana segera menepis tangan yang menahan lengannya. Membuat pria di depannya seketika tersentak.
"M-maaf," Kallana melangkah menjauh. "Terima kasih atas tawaran mu, Nafa." Tidak ada nada ramah yang Kallana keluarkan untuk pria yang dia ketahui sebagai sahabat Satria itu. Karna jelas, kini Kallana menatapnya dingin.
Karna saat menatap pria itu, mendadak Kallana merasa tubuhnya menggigil. Merasa panas dingin dan juga katakutan. Seperti ia melihat Satria dan mengingat semua yang pria itu katakan.
"Tapi aku benar-benar tidak ingin di ganggu. Dan tolong, menjauhlah!"
"Lana, tunggu sebentar." Sekali lagi, Nafa menahan lengan Kallana membuat wanita itu lagi-lagi menghentikan langkahnya. Dia segera berbalik dan menatap Nafa yang menatapnya penuh.
"Aku ingin bicara denganmu. Hanya sebentar, bagaimana?"
"Lepas!" Genggaman tangan Nafa mengerat. Begitu pun wajah pria itu yang tampak tak terpengaruh dengan penolakan wanita di depannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kallana; Pernikahan 365 Hari (SELESAI)
Roman d'amour#Elemen Bima Sanjaya. #Kallana. BUCIN AREA!!! Ketika dua orang yang saling ingin membalaskan dendam di pertemukan. Dipersatukan oleh takdir dan keadaan. Membuat mereka terikat pada sebuah pernikahan kontrak yang tidak mereka sadari membuat mereka sa...