BAB 19 - MENTAL ILLNESS

219 182 60
                                    

        “Jadi berapa nilainya?” tanya Eve, sementara tangannya meletakkan sendok dan garpu di atas piring yang telah kosong

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

        “Jadi berapa nilainya?” tanya Eve, sementara tangannya meletakkan sendok dan garpu di atas piring yang telah kosong.

Danny berpikir sejenak sambil menelengkan kepalanya ke salah satu sisi, “8,5 dari 10,” jawab Danny pelan dan ringan, “tapi sepertinya rasa ini sangat familier.”

Eve menarik napas dalam-dalam setelah mengangguk-anggukkan kepalanya dengan penuh semangat. “Benar, kan? Kau pasti dapat merasakan,” gumam Eve, ia berdiri dari kursi lalu menarik lengan Danny untuk mengikutinya. Sebelah alis Danny terangkat, meskipun begitu ia tetap bangun tanpa banyak berkomentar, dan melangkah dengan patuh mengikuti tarikan ringan Eve.

“Ada yang ingin kukatakan,” ia melepaskan genggaman tangannya pada lengan Danny. Menempatkan dirinya pada sofa. Sebelah tangan Eve menepuk tempat kosong di sampingnya dengan pelan, dan Danny pun duduk.

Apa ini? Mengapa ia terlihat serius? Rasa takut mulai membanjiri Danny.

“Hari ini aku membuat pasta itu bersama ibumu.”

Danny menoleh ke arah Eve, lalu mengerjap dua kali, “Ibuku?” ulangnya ragu sejenak.

Eve mengangguk, “Iya, ibumu… Mrs. Cho. Wanita yang memiliki mata sepertimu, dan senyum yang sama persis seperti yang selalu kau tunjukkan padaku,” cetus Eve, sebagian dirinya terbang untuk mengingat sosok Mrs. Cho yang sangat mirip dengan Danny Cho.

Mungkin Danny masih cukup tercengang dan membutuhkan beberapa detik lagi untuk mencerna. Karena Danny tidak menjawab, Eve melanjutkan, “Ibumu… meminta tolong kepadaku,” katanya mencoba untuk tetap berhati-hati pada setiap kalimat, Eve ingin percakapan yang cukup sensitif itu tetap bergulir secara wajar tanpa menyinggung Danny.

Sementara manik matanya mengamati setiap perubahan ekspresi pada wajah Danny. “Dia memintamu untuk pulang ke rumah.”

Danny menelan ludahnya, lalu mengangguk. Masih tanpa mengucapkan satu katapun.

“Danny… maaf aku ikut campur,” Eve mengubah arah posisi duduknya. Ia lebih memilih untuk menghadap Danny seutuhnya, karena dengan posisi seperti itu ia dapat mengirimkan suara simpati yang tersirat pada setiap kata-katanya. “Apa aku boleh tahu apa yang terjadi?”

Raut wajah Danny berubah serius. Tidak! Sebenarnya ekspresi Danny telah berubah dari beberapa menit yang lalu saat Eve menyebut-nyebut ibunya.
Jadi ada apa sebenarnya?
Atau ini ada hubungannya dengan Danny yang selalu berkata, ‘dulu aku tidak pantas untuk dicintai…’

Danny selalu menegaskan kata-kata itu ketika Eve ingin mengetahui lebih. Ia selalu merasa kesulitan dalam menjawab. Ketika mendapati Danny tidak juga mengeluarkan satu kata pun, Eve menyerah. Ia hanya mengulurkan tangan kanannya  lalu menepuk bahu Danny ringan.

“Tidak masalah jika kau belum siap menjelaskan,” seulas senyum keluar dari bibir Eve. Lalu ia kembali mengubah posisi duduknya. Menyandarkan punggung pada sandaran sofa.

Hold My Hand in Summer ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang