BAB 22 - BIG DECISION

198 151 161
                                    

        Danny

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

        Danny... apakah hari ini juga harus pulang larut?- Eve

        Eve menatap ponselnya sambil memberenggut. Sementara mulutnya tak henti-hentinya menerjangkan rutukan yang tidak mampu membuat perasaannya lebih ringan. Sia-sia saja, meskipun rahangnya terasa pegal karena rentetan kata-kata tidak bermakna itu, Danny tidak juga dapat mendengarnya atau melihatnya. Demi apapun... laki-laki ini benar-benar merepotkan saja!

        Bagaimana bisa, setelah memberikan malam paling berkesan di akhir musim dingin, laki-laki itu menghilang bagai di telan bumi. Atau dia sengaja membiarkan dirinya ditelan oleh dunianya sendiri. Dasar pecundang! Setelah ia seenaknya sendiri menyatakan perasaan kepada Eve, dan sialnya Eve mulai jatuh hati dengan laki-laki itu, dia tidak muncul tanpa meninggalkan apapun.

        Apakah semua laki-laki seperti itu? Mereka akan mengejar begitu keras sebelum mampu mendapatkan. Lalu membiarkan begitu saja setelah gadis itu berada di dalam genggamannya?

        Eve mengetatkan ekspresi wajahnya sambil memikirkan cara terbaik untuk membalas tindakan Danny yang hampir saja meruntuhkan kesabarannya yang telah mencapai pada batas maksimum. Lalu ia mendesah keras saat kepalanya yang kacau tidak mampu menemukan satupun ide. Rupanya alam bawah sadarnya masih menyayangi Danny dan tidak ingin melukai laki-laki itu, menyebalkan!

        Danny sama sekali tidak memberitahukan apapun yang membuatnya pulang hingga larut malam. Ia justru mendapatkan sebuah informasi yang amat penting dari mulut Keanu Lawrence, yang tentu saja informan Ken adalah Clara Smith. Sebuah informasi yang sudah pasti akurat telah ia dapatkan siang ini saat jam makan siang. Baik Danny maupun Clara selama hampir satu minggu ini sedang mendapatkan pelatihan khusus dalam penanganan korban terjangkit virus Ebola.

        Pelatihan itu dilakukan setelah jam kerja selesai hingga larut malam. Siapapun jika mendapatkan informasi semacam itu pasti dapat menebak secara gamblang. Bahwa para dokter itu sedang dipersiapkan untuk menjadi relawan dalam memerangi virus mematikan yang menyebar secara masif di Afrika.

        Karena perkara itu pula, otak Eve terasa kacau sejak jam makan siang berakhir. Ia sedang memikirkan bagaimana jika Danny benar-benar menjadi relawan medis dan pergi ke benua lain? Apa yang harus ia lakukan? Bagaimana jika terjadi sesuatu dengannya? Banyak sekali pertanyaan yang terlintas dalam benaknya. Namun sayangnya ia sama sekali tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan.

        Ia terlalu sibuk bergumul dengan pikirannya sendiri sampai tidak menyadari bahwa sebuah notifikasi telah masuk pada ponselnya. Dalam beberapa detik kemudian ponselnya bergetar tanpa suara. Detik itulah lamunannya buyar, dan matanya segera terfokus pada satu-satunya sumber suara yang mengisi keheningan di dalam kamarnya. Ia tidak dapat menahan diri untuk tidak tersenyum saat manik matanya mendarat pada layar ponselnya.

        Tersimpan ribuan semangat hidup dalam kecekatan gerakan tangannya dalam menjawab telepon dari Danny.

        "Ya halo," kata Eve setelah ponsel menempel pada sebelah telinganya, ia berusaha untuk terdengar kesal, tapi tidak bisa menahan diri untuk tersenyum lebar.

Hold My Hand in Summer ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang