BAB 5 - WHAT HAPPEN?

343 261 313
                                    

Meskipun keraguan mendesak keluar, ia tetap melangkah masuk ke ruangan khusus tim marketing

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Meskipun keraguan mendesak keluar, ia tetap melangkah masuk ke ruangan khusus tim marketing. Rasa lega menyelimuti ketika ia melihat punggung gadis itu, sosok yang ingin ia temui dari dua hari yang lalu dan ia sama sekali tidak mendapatkan kesempatan. Keanu Lawrence kembali melanjutkan langkahnya demi memangkas jarak antara dirinya dengan Eve.

Dari jarak yang cukup dekat, Ken dapat melihat gadis itu disibukkan oleh membereskan peralatan kerjanya menggunakan sebelah tangannya. Di balik punggung Eve yang belum menyadari kehadirannya, ia memutuskan untuk menahan derapnya.

Di tengah-tengah bisingnya ruangan menjelang pulang kerja, ia bersuara, "Eve, pekerjaanmu sudah selesai?"

Lantas sekujur tubuh Eve menegang. Dengung tinggi ruangan divisi marketing sama sekali tak mengaburkan suara familier itu. Satu hal yang Eve sadari, ribuan rasa rindu terhadap suara dan pemiliknya terdorong keluar tanpa dapat ia cegah.

Gadis itu memaksakan diri untuk memutar tubuhnya yang nyaris tidak mampu berkutik. Nyatanya pandangan matanya mendarat lebih cepat dari yang ia kira, saling beradu dengan mata tajam milik Keanu Lawrence.

Ia tidak membutuhkan sebuah cermin untuk melihat keresahan yang memenuhi mimik wajahnya. Sementara sebagian dirinya kesulitan dalam meredakan debaran jantungnya yang tidak wajar. Reaksi yang dikeluarkan tubuhnya sama sekali bukan perkara asing bagi benaknya. Siapa yang sanggup menghindar dari tatapan mata penuh kepedulian yang selalu dilayangkan untuknya.

Rasanya ia ingin memarahi dirinya sendiri, ketika lagi dan lagi benaknya melemah terhadap laki-laki itu. Atau semestinya ia membenturkan dirinya pada ingatan pahit tentang Ken yang tak pernah menganggapnya sebagai seorang wanita.

"Eve ... apa pekerjaanmu sudah selesai?" Ken mengulangi pertanyaannya lagi sambil mengibas-ngibaskan tangan tepat di depan wajahnya. Suara itu mampu memecahkan lamunan singkatnya.

Dipenuhi rasa linglung, gadis itu memaksakan diri untuk mengeluarkan sebuah reaksi, ia mengangguk secara perlahan. Sadarlah Eve, sadarlah jangan gugup.

Bukankah biasanya benaknya cukup kuat untuk menyamarkan segala rasa yang membeku pada dirinya. Seharusnya kali ini juga bisa.

Sebelah alis Ken terangkat, mata tajamnya mencoba mencari-cari setitik perubahan pada gadis itu. Sulit untuk dipercaya, ia menemukan keanehan terhadap Eve dengan begitu mudahnya.

"Ada apa dengan tanganmu?"

"Ada kecelakan kecil dan aku mengalami cedera siku, untungnya tidak terlalu berat." Rasa lega menghampirinya ketika nada suaranya terdengar stabil.

"Bagaimana bisa kau mengalami kecelakaan sampai sikumu dibebat perban seperti itu, harusnya kau lebih berhati-hati?" Sebuah nasihat yang terdengar seperti omelan sama sekali tidak mengejutkan Eve. Itulah mengapa keberadaan laki-laki lain nampak samar pada matanya.

Eve kembali mengangguk tanpa menatap Ken. Rasa sesak kembali menyerang dadanya. Bagaimana ini? Bagaimana jika ia tidak mampu menguasai dirinya sendiri. Bagaimana jika emosinya yang terpendam dalam dirinya mendesak ingin keluar dan tanpa sengaja ia melakukan hal yang lebih parah dari sekadar makian.

Hold My Hand in Summer ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang