BAB 4 - IDEAL TYPE

353 267 279
                                    

Oh, baik

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Oh, baik ... dia sudah memutuskan. Lebih baik naik taksi.

Sebuah pilihan yang cerdas di tengah-tengah rasa kantuk tidak terputus semenjak ia memaksakan diri bangkit dari ranjang. Jika dihitung-hitung ia hanya bisa memejamkan mata selama empat jam di sepanjang malam. Atau sebenarnya nyaris tidak sampai empat jam.

Gadis itu masih berdiri di tepi jalan, karena ketika ia diam dan tidak melakukan apa-apa, kelopak matanya nyaris saja terpejam tanpa ia sadari, sangat membahayakan. Ia seolah-olah sanggup tidur sambil berdiri seperti sebuah manekin.

Itulah mengapa ia menggerak-gerakkan badannya tanpa arti, menendang-nendang tumpukan salju dengan bots-nya, mirip seperti anak kecil yang kesal terhadap sesuatu. Nyatanya ia memang sedang kesal. Gadis itu menghela napas dalam-dalam, udara dingin masuk ke kerongkongannya. Kekacauan di dalam benaknya ia embuskan kuat-kuat bersama dengan udara.

Lumayan memberikan efek, meskipun tidak signifikan. Pada akhirnya ia memilih untuk menghibur diri, memaksakan sebuah senyum untuk menyambut hari yang panjang. Sebuah senyum yang sanggup bersaing dengan sinar matahari yang kebetulan hari ini lumayan cerah.

"Kelihatannya mood-mu sangat baik hari ini?" Suara itu membuat Eve tersentak. Ia merasa linglung untuk sesaat seperti seorang pasien yang baru tersadar dari efek anestesi total.

Ternyata pandangan matanya jatuh lebih cepat dari yang ia perkirakan ke sosok itu, Danny Cho. Eve mengutuk dirinya sendiri akan kepekaan yang dimilikinya. Bagaimana bisa ia tidak menyadari kehadiran laki-laki itu?

Apakah ia terlalu tenggelam dalam pikirannya sendiri?

"Yang benar saja, sepertinya kau tidak pandai memaknai ekspresi seseorang," sergahnya, Eve tidak memerlukan cermin sama sekali untuk menyadari rasa sebal yang pekat pada wajahnya.

"Astaga ... kau jujur sekali ya." Danny tersenyum kecil, sama sekali tidak ada tanda-tanda tersinggung di wajahnya. Dan itu membuat Eve mengerutkan keningnya heran.

"Sepertinya apa pun yang ada di sekelilingmu bekerja dengan baik, bukan?" pungkasnya sambil menyipitkan matanya. Terlalu banyak yang benaknya rasakan, terlalu banyak yang kepalanya pikirkan. Rasa kantuk itu hilang entah kemana.

Sebelah alis Danny terangkat, "Apa maksudmu?"

"Kau selalu terlihat senang. Dan senyum selalu menghiasi wajahmu," cetus Eve ringan.

Laki-laki itu mengerjap sesaat, "Benarkah kelihatannya seperti itu?" lontar Danny ragu. Jeda sejenak, lalu anggukan berturut-turut ia lakukan sambil mengulas senyum getir. "Baguslah jika kelihatannya begitu."

Melihat senyum getir itu, tanpa ia sadari otaknya mencari makna tersembunyi dari senyum itu. Apa maksudnya? Apa dia tidak sebahagia seperti kelihatannya?

Beberapa detik kemudian ia tersadar. Ia tidak seharusnya membuang-buang energi yang tidak sepenuhnya hadir dalam tubuhnya untuk mencari tahu apa pun tentang laki-laki itu. Dia tidak cukup dekat dengan Danny Cho, juga tak cukup peduli dengan permasalahan laki-laki itu.

Hold My Hand in Summer ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang