‼️ PROSES REVISI
Slow Burn Love addicted
Kaki Evelyn Young tergelincir dan ia jatuh menubruk laki-laki itu tepat di bibirnya. Karena terlalu tercengang, dengan pikiran yang kacau ia menyalahkan laki-laki itu atas kecelakaan yang mereka alami.
Ia me...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Danny Cho mendesah keras setelah mematikan sambungan telepon dari orang tuanya. Denyutan nyeri menekan benaknya, laju napasnya terasa sesak, pun kabut tebal beringsut menyelimuti kepala.
Semestinya ia sudah terbiasa dengan kata-kata yang menerjang dari mulut Ayahnya, alih-alih disebut sebagai sebuah nasihat, kata-kata itu jauh lebih tepat dikatakan sebagai serangan. Semestinya begitu setelah bertahun-tahun lamanya dan ia sanggup bertahan.
Namun, bisakah ia beristirahat sejenak. Tanpa tuntutan-tuntutan tiada henti. Yang menekannya tanpa jeda, dan nyaris membuatnya gila.
Jika saja ada kakaknya di London, ya jika saja Jonathan Cho ada di dekatnya. Paling tidak ada seseorang yang menguatkan benaknya ketika serangan bertubi-tubi dari Ayahnya dihunuskan ke arahnya.
Pagi ini apa yang ada pada dirinya sangat bertentangan dengan cuaca cerah yang ada, dan ia lebih memilih untuk berjalan kaki sebagai bentuk penghargaan kekuatan tubuh dan mentalnya, hingga sejauh ini.
Laki-laki itu kembali memasukkan ponsel pada saku celananya, melepaskan earphone yang melekat pada telinganya sejak dua puluh menit yang lalu. Earphone yang menemaninya sepanjang perjalanan dari apartemennya yang terletak tidak jauh dari jembatan Vauxhall menuju ke rumah sakit St. Thomas'.
Langkah-langkah berat di sepanjang perjalanan telah mambawanya sampai di tempatnya bekerja. Waktunya menyingkirkan masalah pribadi dan harus bersikap profesional. Berusaha terlihat ceria meskipun suasana hatinya dipenuhi oleh kabut hitam. Bukankah dia sudah mahir menyembunyikan segalanya?
***
Evelyn Young menyesal telah mengabaikan nasihat dari dokter muda yang ia temui di sore hari kemarin. Semalaman ia tidak dapat tidur nyenyak disebabkan oleh nyeri tak tertahankan dari sikunya. Dan itu bisa menjadi lebih buruk ketika secara tanpa sengaja sikunya menyentuh sesuatu, atau ketika dengan terpaksa ia harus menggerakkan sikunya.
Sekitar jam delapan ia telah bersiap-siap untuk pergi ke rumah sakit setelah menghubungi perusahaan tempatnya bekerja, demi meminta izin.
Singkat cerita ia telah keluar dari ruang pemeriksaan dan mendapatkan resep obat. Sikunya dibebat untuk sementara waktu demi menghindari gerakan-gerakan yang mampu menghambat proses penyembuhan sikunya.
Dokter yang menanganinya bukanlah Danny Cho, laki-laki yang ia temui kemarin. Melainkan seorang dokter perempuan berambut pirang dan bermata biru. Omong-omong, ia lumayan familier terhadap wajah itu.
Entah kapan, matanya pernah memandang wajah itu di suatu tempat. Walaupun, setelah mencoba memutar otak, satu pun jawaban tak sanggup ia temukan.
Gadis itu menuruni satu per satu anak tangga, langkah cepat mengiringinya, sementara sebagian kesadarannya melayang untuk menyelami pikirannya. Ia tidak akan berhenti sebelum rasa penasarannya yang meluap-luap terhenti.
Ia dapat menyimpulkan bahwa kejanggalan ketika melihat dokter wanita itu bukan sesuatu yang sepele dan timbul tanpa sebab akibat prasangkanya. Dokter yang terbilang cukup ramah itu mampu menyulut rasa kesal dari dasar benak Eve. Pasti ada sesuatu, intuisinya mengatakan itu.