| 1 | Bapak dimana?

144 20 0
                                    

September, 1998

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

September, 1998

Dulu, saat aku masih berusia 5 tahun aku sempat mengemis-ngemis pada Ibu agar memberikan adik untuk menemaniku di rumah, karena Bapak dan Ibu yang selalu sibuk di sawah. Tapi kata Bapak, adik itu mahal. Mendengar kata mahal, yang terlintas dalam keningku hanyalah lembaran-lembaran uang.

Saking polosnya dulu, aku rela tidak jajan seharian agar uangku dapat aku tabung lalu aku gunakan untuk membeli adik. Melihat tingkahku seperti itu, siapa orang yang tidak tertawa. Bahkan Paman Aben yang terkesan galak dan pendiam seketika tertawa hanya karena mendengar Bapak menceritakan tentang tingkah anehku.

Tapi saat aku menginjak kelas 3 SD, aku memutuskan untuk membuang jauh-jauh keinginanku untuk memiliki seorang adik. Karena Mas Galang -kakak sepupuku- pernah mengatakan padaku, "Jadi kakak itu tidak menyenangkan Adin, tanggung jawab kamu akan lebih besar, waktu bermain kamu tidak akan banyak, kamu akan terus-menerus disuruh untuk menjaga adikmu. Dan yang paling menyebalkan adalah, ketika adikmu berbuat salah maka kamu yang akan disalahkan, karena orang tuamu lebih menyayangi adikmu dibanding dirimu."

Beberapa waktu bergulir. Kurang lebih 2-3 bulan sebelum tibanya hari kelahiranku yang ke-11, aku menangis bahkan sampai marah-marah dan kemudian kabur dari rumah. Hanya karena... Ibu yang tiba-tiba memberi kabar bahwa dia sedang hamil adikku.

Aku menceritakan semua pada Bapak, tentang aku yang tidak ingin memiliki adik, karena takut Bapak dan Ibu tidak sayang lagi denganku. Saat itu Bapak mencoba menenangkan diriku yang sudah menangis sesenggukan di pinggir jalan.

"Bapakmu ini tidak sama dengan Pakde Jono, Bapak akan selalu sayang dengan Abang meskipun sampai nanti adik Abang lahir."

Kalian tahu pakde Jono? Ya, Pakde Jono adalah bapaknya Mas Galang. Sama seperti Paman Aben, Pakde Jono itu terkenal galak, atau bahkan lebih galak dari Paman Aben.

Diantara semua anak eyang, yang dikenal paling ramah, dermawan, dan suka membantu oleh para warga di tempatku tinggal, sudah pasti hanyalah Bapak. Dan benar juga kata mereka, "Yang baik selalu pulang lebih dulu."

Saat tibanya ulang tahunku yang ke 11 tahun, aku pernah menagih janji bapak yang sudah dua tahun tak terlaksana. Tapi kata bapak, "Tunggu adikmu lahir, Bapak pasti akan ajak kamu ke Monas. Kita pergi ke sana bersama-sama dengan Ibu dan adikmu nanti."

Tapi apa? Pada akhirnya Bapak berbohong, ini sudah 8 tahun berjalan, Bapak belum memenuhi janji Bapak kepada Adin, tapi Bapak malah menyuruh Adin untuk berjanji. Ingin sekali marah, ingin sekali menyerah, tapi masih ada Ibu dan Akash.

Tidak ada hal yang benar-benar menarik untuk dilakukan setelah tiadanya Bapak, dan yang kulakukan setiap harinya tidak jauh berbeda. Semua terasa kosong tanpa Bapak.

Bunga Kertas Untuk "BAPAK"  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang