| 19 | Bermain dengan perkakas

51 10 2
                                    

Sesuai kesepakatan yang disetujui olehku dan Paman Aben kemarin malam, maka aku akan menyiapkan diri untuk menuju rumah sang lelaki tak berpasangan itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sesuai kesepakatan yang disetujui olehku dan Paman Aben kemarin malam, maka aku akan menyiapkan diri untuk menuju rumah sang lelaki tak berpasangan itu.

Dengan memakai kaos putih oblong dengan kolor hitam sepanjang lutut, aku berjalan keluar rumah sambil sesekali mengacak-acak rambutku yang masih sedikit basah, karena aku baru saja mandi. Aku menuruni tangga tiga tingkat di depan rumahku, memasangkan kedua kakiku dengan sendal jepit berwarna merah.

"Abang!"

Aku yang hendak melangkah terpaksa mengurungkan niatku karena mendengar suara yang tak asing di telinga. Aku mengangkat kepala, mendapati Akash yang sudah berdiri di ambang pintu.

"Abang mau ke rumah Paman Aben?"

"Hmm, kenapa?"

"Akash ikut." Anak itu tersenyum begitu lebar, harap-harap aku mengiyakan kemauannya.

"Tidak, tidak, tidak. Di rumah saja." Senyum Akash luntur seketika, wajahnya nampak masam selepas mendengar keputusanku.

"Ayolah, Bang, Akash bosan di rumah," anak itu merengek, menggoyang-goyangkan kedua tangannya.

"Di rumah saja temani Ibu, Akash." Aku berujar lembut.

"Ibu sedang sibuk sendiri." Akash menjawab sambil memanyunkan bibirnya.

"Memangnya Ibu sedang apa?"

"Ibu sedang menjahit celana sekolah Akash yang robek."

"Nah, itu dia. Ibu sedang menjahitkan celanamu yang robek, seharusnya kamu di rumah saja menemani Ibu, berbalas budi."

"Kata Ibu boleh, Bang. Akash sudah minta izin tadi." Wajah Akash semakin masam, bahkan dia terlihat hendak menangis. Aku menggaruk keningku, menghela napas frustasi.

"Ya sudah, ayo." Aku mengayunkan tanganku, mengisyaratkan agar Akash turun dan mengikutiku.

Anak itu benar-benar pandai berlakon, raut wajahnya berubah lagi. Dia tersenyum sumringah, berjalan cepat menuju diriku.

"Gendong, Bang." Anak itu merentangkan kedua tangannya, tersenyum tidak tahu malu.

"Cih, enak saja gendong." Aku berdecih sambil menyunggingkan seringai tipis.

"Cepat, Bang!" Lagi-lagi Akash merengek.

Aku tidak bisa menolak kalau Akash sudah bertingkah seperti ini, anak itu memang terlalu pandai meluruhkan hati mungilku. Tanpa banyak kata, aku berjongkok di depan Akash, anak itupun sigap melingkarkan lengannya di leherku.

"Akash memangnya tidak malu dilihat tetangga?" Aku bertanya sambil berusaha berdiri, dan sesekali membenarkan posisi Akash agar anak itu nyaman di gendonganku.

"Untuk apa Akash malu, Akash tidak berbuat salah." Jawaban anak itu membuatku terkekeh kecil.

Aku mulai melangkah menjauhi pelataran rumah. Hanya butuh beberapa menit untuk langkahku sampai di rumah Paman Aben. Akash yang masih berada di atas punggungku begitu girang saat melihat Paman Aben tengah duduk santai di teras rumah, anak itu menyapa sambil melambaikan tangannya antusias.

Bunga Kertas Untuk "BAPAK"  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang