Siang menjelang sore kala itu, aku berada di rumah Koh Aceng, bukan semata-mata hanya untuk berkunjung. Aku datang ke rumahnya karena aku mendengar kabar kalau William akan berangkat lagi ke Jogja. Bocah itu benar-benar menyebalkan, dia bahkan tidak memberitahuku. Aku baru mengetahuinya saat Wak Sugeng memberitahuku, dia bilang dia yang akan mengantar William ke stasiun dengan mobil pickup-nya.
Aku tidak sendirian di rumah Koh Aceng, ada Akash dan Bima juga, dua bocah itu memang tidak akan pernah bosan membuntutiku. Sedangkan Wak Sugeng ada di mobilnya, menyelonjorkan kakinya ke atas setir, sambil sesekali menjelajahi sela-sela giginya dengan jari kelingking, siapa tahu ada sisa makanan yang tertinggal. Sedangkan Koh Aceng, orang tua itu sibuk mengoceh, menyuruh William untuk mengecek kembali barang bawaannya, barangkali ada yang belum dibawa dan disiapkan.
"Sudah, Baba. Semuanya sudah ada di dalam ransel, tidak ada yang tertinggal."
"Oh ya, tiket, mana tiket? Sudah disiapkan belum?" William meraih secarik kertas di saku celananya, menunjukkan itu pada Koh Aceng.
"Sudah, Baba, tidak perlu khawatir."
"Ya sudah, cepat keluar, Wak Sugeng sudah menunggu di depan. Jangan lupa ada Adin juga di luar, pamitan dulu dengannya." Ujar Koh Aceng.
William berjalan keluar dengan ransel besar di punggungnya, sudah seperti mau naik haji saja anak itu. William menghampiriku, hendak berpamitan.
"Kenapa tidak memberi kabar padaku, hah?" Aku menepuk kesal lengan William.
"Surprise, Din." Sedang kesal seperti ini, sempat-sempatnya dia bergurau.
"Supris, supris! Tidak ada supris-suprisan!" Aku bersungut marah.
"Surprise, Adin, bukan supris." William berucap lirih, memperbaiki perkataanku.
"Halah! Sama saja!"
"Bedalah! Supris itu mantannya Mpok Neli." William menyela lalu kemudian tergelak atas perkataannya sendiri. Aku sebaliknya, menatap datar pada temanku yang asyik tertawa, sama sekali tidak ada lucu-lucunya yang dikatakan William tadi. Aku justru bergidik ngeri mendengar nama wanita yang memiliki hobi merayu lelaki, tapi nasibnya melajang sampai kini.
"Oi, ada Bima dan Akash juga ternyata." William mencoba mengalihkan topik, pura-pura tersenyum sumringah saat menyadari ada dua anak lelaki di belakangku.
"Abang Willi nanti ke sini lagi, kan?"
"Sampai kapan Abang Willi pergi?"
Tepat setelah Akash dan Bima bertanya bergantian, William membungkukkan tubuhnya, menyamakan tingginya dengan tinggi badan dua anak kecil di depannya, dan tersenyum sebelum kembali bersuara.
"Kalian tidak perlu sedih, Bang Willi pergi ke Jogja untuk menyelesaikan pendidikan Abang, menuntut ilmu di sana. Setelah selesai pasti Bang Willi pulang lagi ke kampung ini, bertemu kalian."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bunga Kertas Untuk "BAPAK"
Ficção GeralTidak ada yang semudah itu mengatakan "aku baik-baik saja" setelah adanya perpisahan. Tidak ada yang semudah itu mengatakan "aku kuat" setelah ditinggalkan. Hanya sepucuk kata "rindu" yang mampu tersampaikan, meskipun pada kenyataannya Tuhan tetap m...