"Kamu pikirkan dulu baik-baik, Jalal. Jangan asal mengambil keputusan, kasihan anak gadismu itu."
Di teras rumah di bawah kilatan lampu petromaks yang bergelantung, dua lelaki baya yang usianya menginjak kepala empat duduk bersama dan sedikit berbincang dengan bersanding-kan dua cangkir kopi di antara mereka.
Paman Jalal masih sibuk mengepul-ngepulkan asap rokok dari mulutnya, sesekali menutuk ujung rokok di atas asbak sampai abu-abu kecil berjatuhan. Lelaki yang memiliki rahang tegas dengan kumis beruban yang tertempel di bawah hidungnya masih saja acuh, tak terlalu memperdulikan semua kata demi kata dari Koh Aceng.
"Kamu tahu apa tentang keluargaku, Aceng? Jangan banyak mengatur." Masih dengan menyesap rokok dan mengepulkan asapnya, Paman Jalal tak memalingkan wajah sama sekali.
"Hanum anakku. Mau aku apakan juga itu hak-ku." Lanjutnya.
"Justru itu, Jalal, karena Hanum anakmu, darah dagingmu, seharusnya kamu tahu bagaimana perasaannya." Beberapa menit tak ada respon, Paman Jalal masih sibuk mengepul-ngepulkan asap rokoknya.
"Memangnya anaknya Jono, si Galuh, sudah tahu? Dia setuju?" Koh Aceng masih berusaha mengintrogasi.
"Kamu kesini berniat berbagi sembako atau mencampuri urusan pribadi keluargaku, Aceng?" Paman Jalal menoleh, bertanya dengan raut wajahnya yang tenang namun sorot matanya yang tajam.
"Bukan begitu, Jalal, aku hanya kasihan dengan anak gadismu itu. Kamu tahu sendiri kan bagaimana watak si Jono itu, apalagi istrinya." Koh Aceng menimpali.
"Mereka biasa-biasa saja, tidak seperti kawanmu yang pendusta." Paman Jalal menajamkan matanya saat mengatakan kosa kata terakhir itu.
"Jaya sudah tidak ada, kamu masih saja berprasangka buruk tentang dia?"
"Ini bukan prasangka, memang benar, Jaya si pendusta. Oleh karena itu aku lebih memilih anaknya Jono, si Galuh."
"Aku tidak sudi kalau Hanum ku jodohkan dengan anaknya Jaya, dia sama dengan bapaknya, miskin dan pendusta."
"Jalal! Sarkas sekali perkataanmu, hah!" Koh Aceng menyentak, tak kuasa menahan amarah.
"Entah petunjuk darimana si Uning mau saja menikah dengan lelaki kasar sepertimu." Sambungnya.
"Jaga mulutmu, Aceng. Jangan sekali-kali kamu sebut nama wanita itu." Paman Jalal memperingati, Koh Aceng hanya menghela napas, tak membalas.
Setelah satu jam duduk berbincang di teras rumah Paman Jalal, akhirnya Koh Aceng memutuskan untuk pulang. Lagipula hajatnya menuju rumah Paman Jalal sebenarnya sudah selesai dari tadi, hanya membagi sembako. Tak berpikir panjang, pria tua itu beranjak bangun, berpamitan terlebih dahulu, namun tak terlalu digubris oleh Paman Jalal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bunga Kertas Untuk "BAPAK"
General FictionTidak ada yang semudah itu mengatakan "aku baik-baik saja" setelah adanya perpisahan. Tidak ada yang semudah itu mengatakan "aku kuat" setelah ditinggalkan. Hanya sepucuk kata "rindu" yang mampu tersampaikan, meskipun pada kenyataannya Tuhan tetap m...