| 4 | Pucuk merah sore itu

64 17 0
                                    

Aku menyugar rambutku yang masih sedikit basah, kemudian menyisir surai-surai hitam milikku di balik cermin yang terpampang lebar di depanku sambil mengamati sisi-sisi wajahku dengan teliti

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku menyugar rambutku yang masih sedikit basah, kemudian menyisir surai-surai hitam milikku di balik cermin yang terpampang lebar di depanku sambil mengamati sisi-sisi wajahku dengan teliti.

"Adin! Ibu berangkat dulu ya!" Kupingku yang menangkap teriakkan dari Ibu lantas membuat kakiku berjalan keluar dari kawasan kamar.

"Bu, tunggu dulu!" Aku sengaja berteriak karena melihat Ibu yang sudah berjalan keluar, dan kemudian aku berlari kecil mendekati Ibu.

"Kenapa?" Bukannya lantas menjawab, aku malah mesam-mesem tidak jelas membuat Ibu mengerutkan keningnya akibat heran dengan tingkahku.

"Kamu ini kenapa?" Ibu tersenyum sedikit bingung padaku, lalu aku menggeleng pelan.

"Hanya sedikit kecupan untuk Ibu." Aku meraih tangan Ibu, mencium punggung tangan itu dengan hikmat dan setelah itu aku menjatuhkan bibirku sekilas pada pipi Ibu.

Ibu yang mendapat perlakuan seperti itu olehku, sama sekali tidak pernah menunjukkan keterkejutannya, karena Ibu tahu seperti itulah diriku.

"Ya sudah, Ibu berangkat dulu ya." Ibu mengusap pipiku lembut, lalu hendak kembali melangkahkan kakinya keluar, tapi lagi-lagi aku menahannya.

"Kenapa lagi?"

"Ibu tidak mau menciumku?" Aku menunjukkan raut wajah sedihku, membuat Ibu terkekeh.

"Sudah, jangan banyak tingkah, Ibu mau berangkat kerja." Aku menyudahi dulu akting sedihku, lantas kembali tersenyum tipis dan dengan pelan aku merengkuh tubuh Ibu, menaruh daguku pada pundak Ibu.

"Kamu ini kenapa?" Dapat kurasakan sentuhan pada punggung dan kepalaku, Ibu mengelusnya.

"Sebentar saja ya, Bu." Aku semakin mengeratkan pelukanku.

"Sebelum Adin seharian tanpa Ibu, biarkan Adin istirahat sebentar saja di pelukan Ibu."

Seorang Ibu tetaplah seorang Ibu, instingnya begitu kuat, apalagi kalau tentang anaknya. Sangat tahu apa yang terjadi dengan diriku, Ibu tak memilih membuka suara untuk merespon ucapanku, melainkan Ibu membalas pelukanku, seolah kita sedang meluapkan rasa lelah masing-masing. Antara aku dan Ibu.

°°°°°

Akash meng-aduh kesakitan akibat nyeri yang kemudian menjalar pada punggung kecilnya yang baru saja di benturkan pada tembok kelas oleh dua temannya yang langganan membully.

Boni -si gempal- dan Edi -si ceking-

Kondisi kelas sudah sepi, dan mungkin di saat ini hanya tersisa mereka bertiga di sekolah, karena para warga sekolah sudah pergi meninggalkan kawasan sekolah dikarenakan kegiatan pembelajaran yang sudah selesai.

"Kenapa kamu mengadu pada guru hah?!" Tanya Boni.

"B-bukan aku yang mengadu." Akash menggelengkan kepalanya pelan.

Bunga Kertas Untuk "BAPAK"  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang