Hai, borr!!!
Entah udah sekian berapa lamanya nggak ketemu kalian, sampe nggak sadar udah bulan puasa aja, huhu😭
Maaf banget yaa, aku baru bisa update setelah sekian bulan berlalu. Tolong maafin yaa, mumpung lagi puasa, nanti pahalanya nambah,,, (mungkin).
Oh ya, yang lagi puasa semangat terus yaa puasanya, jangan sampe mokel. Dan buat yang nggak puasa, semangat juga berburu takjilnya✊
Saya cukupkan salam pembukanya, selamat membaca teman-teman!!!
Don't forget to vote and comment, thank you very much!!! Love you all❤️
°°°°°
Tidak ada banyak hal yang mampu digambarkan dan didefinisikan tentang malam ini, semua tetap sama, dan selamanya akan tetap sama. Duduk bersila di teras rumah, bibir yang sedikit demi sedikit menyeruput air kopi, dan mata yang senantiasa menatap langit dengan angan kosong.
Sebagai pemuda yang habitatnya tidak jauh dari kota orang, hidup terus-menerus di kota sendiri seolah tidak punya harapan dan rencana untuk masa depan. Astaga! Aku benar-benar bosan untuk mengatakan ini. Sungguh, tidak ada yang menarik dari duniaku, semua hanya berputar-putar saja, seolah aku di sini hanya untuk bertahan hidup, bukan mencari hal baik yang harus dipertahankan dalam hidup.
Aku sendirian, tidak ada yang menemaniku bicara malam ini. Padahal jarum jam baru menunjukkan pukul setengah 9 malam, tapi suasana sudah terasa amat sepi. Ibu yang biasanya tidur di sekitaran jam 10 malam, atau bahkan lebih malam dari itu, tapi akhir-akhir ini sering tertidur lebih awal. Dan tentang bocah kesayangan kalian, dia juga sudah tertidur di kamar Ibu, entah kenapa.
"Sampai kapan akan seperti ini?"
Sekian lama menit aku terdiam, akhirnya aku memutuskan untuk bermonolog.
"Lelah, Pak..."
"Siapa yang lelah?"
Tidak, itu bukan aku. Aku menoleh cepat, sorot mataku menangkap seorang yang tak asing tengah berjalan mendekat menuju diriku. Tidak lain dan tidak bukan, Paman Aben orangnya.
"Siapa yang lelah? Kamu, Din?" Paman Aben mengulang pertanyaannya sembari mengistirahatkan tubuhnya di sampingku, aku hanya membalasnya dengan deheman singkat dan malas.
"Berlebihan kamu, Din. Masih terlalu panjang jalan hidupmu, jangan punya hobi mengeluh." Tegas Paman Aben.
"Bisakah Paman Aben menghargaiku sekali saja?! Aku juga manusia, bisa merasakan lelah. Kenapa Paman selalu saja asal bicara?!"
Berdosakah aku membentak seorang yang selama ini menemani hidupku? Mungkin ini pertama kalinya sejak ribuan kali aku berangan untuk marah pada Paman Aben.
"Kekanak-kanakan kamu, Din! Hanya karena Paman mengatakan itu kamu langsung marah?! Kalau begitu, lebih baik kamu belajar pada adikmu, dia bahkan lebih dewasa darimu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bunga Kertas Untuk "BAPAK"
Fiction généraleTidak ada yang semudah itu mengatakan "aku baik-baik saja" setelah adanya perpisahan. Tidak ada yang semudah itu mengatakan "aku kuat" setelah ditinggalkan. Hanya sepucuk kata "rindu" yang mampu tersampaikan, meskipun pada kenyataannya Tuhan tetap m...