Pukul 11.30 menit. Seharusnya anak kelas 2 SD sudah pulang, tapi apalah daya, hujan menjadi duri tajam yang menghambat mereka untuk menerjang rintikan air itu.
Dalam ruangan kubus yang tak besar namun juga tak kecil, di atas kursi berjejer yang ada di dekat jendela, dua anak terduduk di sana, menunggu hujan reda sampai hampir satu jam, bermain abcd lima dasar sementara, sekedar untuk menghilangkan bosan.
"Sudahlah, Akash. Aku lelah..." Akash sudah menempelkan telapak tangannya di atas meja dengan jempolnya yang terlipat, siap melantunkan runtutan alfabet. Tapi temannya yang satu ini malah membaringkan setengah badannya di atas meja dengan rasa malas yang menggerogoti.
"Kapan kita akan pulang?" Bima bertanya dengan sedikit merengek.
"Tunggu sebentar lagi, hujan pasti reda." Akash menoleh, menatap keluar dari balik jendela, lalu membalas rengekan Bima dengan jawaban yang wajar-wajar saja.
"Apa maksudmu tunggu sebentar lagi? Kita bahkan sudah menunggu hampir satu jam!" Bima mengangkat separuh tubuhnya yang terbaring malas di atas meja sembari berseru tidak terima dengan jawaban Akash.
"Memangnya apa yang bisa kita lakukan? Mencak-mencak dan marah-marah pada hujan? Atau merasa tidak terima dengan Tuhan yang tidak mau meredakan hujan?" Akash nampak serius dengan tatapannya yang lurus menyorot netra Bima.
"Bima, seharusnya kita bersyukur hujan turun. Kata Abang Adin, hujan itu anugerah, rahmat dari Tuhan. Coba bayangkan, apa yang terjadi dengan kampung ini kalau tidak pernah diguyur hujan? Sungai kering, air akan sulit ditemukan, kemarau akan panjang, dan tentu saja itu akan mempersulit hidup kita. Bagaimana kita akan mandi nanti? Bagaimana kita mencari air untuk minum?"
"Bima, kamu juga harus tahu ini, saat hujan turun, berdoalah. Karena kata Abang Adin, berdoa saat hujan turun akan cepat dikabulkan." Anak lelaki yang baru bulan kemarin menginjak usia 8 tahun, menjawab sungutan temannya dengan jawaban yang terlihat bijak.
"Panjang sekali kamu menjawab, padahal aku hanya berkata sedikit." Bima mengerucutkan bibirnya sebal, lalu menjatuhkan dagunya pada kedua tangannya yang terlipat di atas meja. Akash yang melihat itu hanya menghela napas, setelah itu tak ada jawaban dari mulut kecilnya.
"Ayah tidak pengertian sekali, padahal anaknya masih terperangkap di sekolah karena hujan." Lagi-lagi Bima berceletuk jengkel. Setelah dua menit sejak Bima berceletuk, Akash baru mulai membuka suara kembali.
"Bima, boleh aku bertanya sesuatu?"
"Apa?" Bima mengangkat kepalanya.
"Bagaimana hidup dengan seorang Ayah?"
"Hidup dengan seorang Ayah?" Kening Bima berkerut sembari mengulang perkataan Akash.
"Menyenangkan." Bima menjawab singkat.
"Hanya itu?"
"Lalu aku harus menjawab apa?" Akash memutar bola matanya, berdecak sebal.
"Akash, bisa jadi jawaban dari setiap anak berbeda. Tapi kalau kamu bertanya padaku, aku hanya akan menjawab itu, 'menyenangkan'. Ayahku baik, dia akan memberikan apapun yang aku minta, dia sering mengajakku jalan-jalan berkeliling kota. Tapi sayangnya, ada satu hal yang tidak aku sukai dari Ayah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bunga Kertas Untuk "BAPAK"
Ficção GeralTidak ada yang semudah itu mengatakan "aku baik-baik saja" setelah adanya perpisahan. Tidak ada yang semudah itu mengatakan "aku kuat" setelah ditinggalkan. Hanya sepucuk kata "rindu" yang mampu tersampaikan, meskipun pada kenyataannya Tuhan tetap m...