Aku memicingkan mata menatap jam bulat yang terpajang jelas di dinding kamarku. Pukul 04.35. Aku segera menyingkirkan selimut yang sejak tadi malam membungkus tubuhku, aku masih berusaha mengumpulkan sedikit demi sedikit nyawaku yang tak kunjung pulih. Sesekali aku menguap lalu meregangkan seluruh tubuhku yang kaku.
"Masih terlalu pagi." Aku berucap lirih dengan suaraku yang serak, khas bangun tidur.
Aku ingin sekali menarik kemulku kembali, memanjakan seluruh tubuhku di atas ranjang tua berbahan bambu dan kayu yang mulai lapuk. Tapi, adzan subuh yang berkumandang menyurutkan niatku. Tak perlu waktu lama, segeralah aku beranjak bangun dari ranjangku dengan penuh keterpaksaan. Rasanya begitu lelah, padahal aku tidak banyak bekerja akhir-akhir ini.
"Anak Ibu sudah bangun rupanya. Baru saja Ibu mau membangunkan kamu, Din." Ibu yang sedang sibuk menyiapkan kayu bakar untuk masak pagi ini, seketika berujar kala melihatku yang melintas, hendak mengambil air wudhu untuk melaksanakan sholat subuh.
"Iya, Bu." Aku menjawab singkat seraya tersenyum, meskipun wajahku masih terlihat begitu malas untuk berseteru dengan dunia hari ini.
Terlebih dahulu aku menuju ke kamar mandi untuk buang air kecil. Dan setelahnya, aku berjalan lunglai menuju sebuah padasan yang berada di dekat sumur, jaraknya persis 3 meter dari belakang rumahku.
Sebelum aku memulai membasahi seluruh anggota wudhu, tentu saja aku menimba air dulu di dalam sumur yang memiliki kedalaman 10 meter. Sumur itu belum terlalu tua, kurang lebih baru 10 tahun hidup. Eyang Kakung yang membangunnya dengan Bapak, serta Pakde dan Paman.
Aku beranjak masuk kembali ke dalam rumah sembari meraupkan telapak tangan pada wajahku, berniat mengurangi tetesan air wudhu yang terus berjatuhan.
"Jangan lupa bangunkan adikmu, Din. Ajak Akash sholat berjamaah."
"Ibu tidak sholat?" Aku bertanya pada Ibu yang sedang menyiapkan bahan masakan kala itu.
"Ibu gampang, hanya tinggal berwudhu, sedangkan adikmu kadang sulit dibangunkan. Bangunkan dulu." Aku mengiyakan perintah Ibu. Lalu berlenggang pergi menuju kamar Akash.
Aku membuka pelan pintu kamar Akash, memasukkan separuh tubuhku, dan mataku menyoroti seluruh ruangan itu, kondisinya masih gelap. Aku berjalan pelan masuk ke dalam, dapat kulihat Akash yang tidur begitu lelap sambil tengkurap. Tiba-tiba saja, terlintas ide jahil di kepalaku.
Aku berjalan mendekat ke arah meja belajar Akash, meraih sebuah senter yang dulu pernah ku gunakan saat bermain bayang tangan dengan Akash di kamar ini. Aku menyembunyikan tubuhku di samping ranjang Akash. Tanpa sepatah kata apapun, aku menyibak kemul yang menutupi tubuh kecil itu. Sesekali Akash menggeliat, namun setelah itu, dia kembali tertidur lelap.
Masih dengan tubuhku yang tersembunyi di samping ranjang, tanganku terangkat menggelitiki telapak kaki Akash. Lagi-lagi tak ada respon, anak itu masih saja memejamkan mata. Aku tak putus asa, tanganku masih tak berhenti menggelitiki telapak kaki Akash sampai dia benar-benar terbangun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bunga Kertas Untuk "BAPAK"
Fiction généraleTidak ada yang semudah itu mengatakan "aku baik-baik saja" setelah adanya perpisahan. Tidak ada yang semudah itu mengatakan "aku kuat" setelah ditinggalkan. Hanya sepucuk kata "rindu" yang mampu tersampaikan, meskipun pada kenyataannya Tuhan tetap m...