Tahun 1995
Keadaanku sudah tak karuan. Bercak darah tertera di ujung bibirku, seragamku berantakan, rambutku sudah amburadul, wajahku masih terlihat merah padam. Baru saja sampai rumah, aku sudah membuat Ibu panik bukan kepalang.
"Astaghfirullahal'adzim!"
"Kamu kenapa, Adin?!" Ibu memegang daguku, mengecek setiap inchi wajahku.
"Adin jatuh, Bu." Jawabku asal.
"Tidak mungkin jatuh sampai seperti ini!" Ibu menolak keras jawabanku.
"Tunggu dulu ya, Ibu akan mengambil kapas dengan obat merah." Aku mencegah Ibu yang hendak berbalik.
"Kenapa?" Tanya Ibu.
"Adin boleh tanya sesuatu?" Tampangku begitu serius saat itu, seolah hal yang akan aku bicarakan begitu penting.
"Tanya? Tanya apa?" Raut wajah Ibu terlihat heran.
"Apa selama ini Adin sekolah dengan uang Pakde Jono?" Dapat kulihat Ibu yang nampak terkejut.
"Bu, apa itu benar?" Tanyaku memastikan.
"Kalau itu benar, lalu untuk apa Ibu menjual sawah milik Bapak? Bukankah itu untuk sekolah Adin?" Ibu masih diam, belum bersuara sejak aku melontarkan pertanyaan pertama.
"Bu, jawab pertanyaan Adin."
"Iya, Pakde Jono yang menyekolahkanmu." Jawab Ibu begitu lirih.
"Lalu, tentang sawah Bapak? Kenapa Ibu menjualnya?"
"Untuk membayar hutang Bapak dan Ibu kepada Pakde Jono?" Keningku menampakkan kerutan, pertanda bahwa aku bingung.
"Selama Bapakmu sakit, Pakde Jono-lah yang membayar biaya pengobatannya, dan saat Ibu persalinan adik kamu, itu juga menggunakan uang Pakde Jono, dan nominalnya tidak sedikit."
"Kalau sawah Bapak dijual untuk membayar hutang Bapak dan Ibu pada Pakde Jono, lalu kenapa Pakde Jono malah mau menyekolahkan Adin? Agar hutang kita semakin bertambah?" Raut wajahku mulai tak enak.
"Ibu tidak ingin mengecewakanmu, Adin. Ibu sangat tahu kamu ingin melanjutkan sekolah, tapi bodohnya, saat itu Ibu tidak memiliki pekerjaan. Oleh karena itu, Pakde Jono menawarkan pada Ibu untuk bekerja di rumahnya dan menawarkan untuk menanggung biaya sekolah kamu sementara waktu."
"Ibu tidak kenal Pakde Jono?" Tanyaku tak habis pikir pada Ibu.
"Pakde Jono itu hanya mengguna-guna kita. Dia bersikap seolah-olah dirinya baik, tapi pada kenyataannya hatinya lebih busuk dari bangkai." Aku mendesis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bunga Kertas Untuk "BAPAK"
Fiksi UmumTidak ada yang semudah itu mengatakan "aku baik-baik saja" setelah adanya perpisahan. Tidak ada yang semudah itu mengatakan "aku kuat" setelah ditinggalkan. Hanya sepucuk kata "rindu" yang mampu tersampaikan, meskipun pada kenyataannya Tuhan tetap m...