"Pak! Bangun!" Seorang anak kecil berseru memanggil Bapaknya yang terkulai tak bernyawa di atas ranjang rumah sakit.
"Bangun, Pak!!" Masih tak mau berhenti, anak itu terus berseru, menggoyang-goyangkan tubuh Bapaknya dengan brutal.
"Jangan pergi, Pak!!" Anak itu terus mengerang, menangis tersedu-sedu.
"BAPAK BANGUN!!!"
Aku tersadar seketika. Sekujur tubuhku dikerumuni keringat, napasku menyembul tak beraturan. Aku meraup wajahku gusar, memijat pangkal hidung. Sejak membicarakan tentang Bapak tadi malam dengan Wak Sugeng, banyak sekali pertanyaan yang bermunculan di kepala, belum ditemukan jawabannya.
Saking kalutnya memikirkan Bapak, aku kembali melihat Bapak terbaring tak berdaya di atas ranjang rumah sakit. Meskipun itu hanya di mimpi, tapi aku kembali merasakan luka kehilangan itu.
"Bapak..." Aku berucap lirih dengan napasku yang masih tergopoh.
Mataku melirik jam, masih pukul 02.45 menit. Aku beranjak bangun dari kasur, menuju ke belakang rumah untuk mengambil wudhu. Setelahnya, aku kembali lagi ke kamar, meraih baju koko yang aku kenakan semalam, memasang peci di kepala, lalu membentangkan sajadah.
Begitu sia-sia kalau kita terbangun tengah malam tapi tidak melaksanakan sholat malam. Sebenarnya aku dulu sering melaksanakan sholat malam, karena Bapak selalu mengajakku. Tapi sekarang, jarang sekali, hampir tidak pernah, hanya jika terbangun saja, seperti sekarang ini.
Seperti yang pernah diajarkan Bapak, jangan tinggal dzikir setelah sholat. Aku berdzikir sebentar, lalu berdoa. Aku kembali melirik jam, masih ada waktu untuk tidur lagi sembari menunggu subuh, tapi sayangnya aku sudah tidak mengantuk. Tidak tahu harus melakukan apa.
Aku berdiri, melangkah keluar kamar. Aku membuka pelan pintu kamar Akash, dan mendapati anak itu yang tidur pulas entah dalam posisi apa. Bantal tergeletak di lantai, guling menindihi perutnya, dan selimut yang biasa digunakan untuk menyelimuti tubuhnya, malah sekarang tubuhnya yang menyelimuti selimut, tertindih di bawahnya.
Aku mencoba pelan-pelan membenarkan posisi tidur Akash, sesekali membuat dia menggeliat, tapi tidak sampai terbangun. Aku meletakkan bantal di bawah kepalanya, meletakkan guling di sampingnya, lalu menarik selimut untuk menutupi tubuh Akash sampai dada.
Aku duduk di pinggiran kasur, mengulas senyum, membelai lembut rambut hitam legam milik adik tersayang-ku satu-satunya.
Mimpi yang tadi terbayang kembali, menyurutkan senyumku. Aku bersyukur karena aku yang merasakan dan melihat secara langsung, bukan Akash. Tapi, aku juga merasa kasihan pada adikku, dia hidup tanpa sosok Ayah layaknya teman-temannya yang lain.
Sesuatu tiba-tiba terlintas di kepala. Bagaimana kalau suatu saat Akash juga merasakan kehilangan seperti apa yang aku rasakan dulu? Bagaimana kalau suatu saat aku dan Ibu pergi? Akash dengan siapa di sini? Astaga, kenapa pertanyaan pelik itu tiba-tiba terngiang-ngiang di kepala.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bunga Kertas Untuk "BAPAK"
Ficción GeneralTidak ada yang semudah itu mengatakan "aku baik-baik saja" setelah adanya perpisahan. Tidak ada yang semudah itu mengatakan "aku kuat" setelah ditinggalkan. Hanya sepucuk kata "rindu" yang mampu tersampaikan, meskipun pada kenyataannya Tuhan tetap m...