Sebelum baca jangan lupa vote, komen, and share! Selamat membaca!
"Kamu yakin mau mendaki gunung? Kalau cuma mau ngelukis danau, kan bisa cari di internet."
"Aku harus pergi Nis, aku harus melihatnya secara langsung dengan kedua mataku."
Ranu, pemuda yang mengidap penyakit asma sejak kecil. Ia bersikukuh untuk tetap mendaki di tengah kondisi penyakitnya yang semakin parah, pemuda bertubuh kurus itu sedang berkemas, memastikan tidak ada barang penting yang tertinggal. Sementara itu diambang pintu, gadis berkaos putih berdiri menatap punggung Ranu.
"Tapi penyakitmu ...,"
"Aku tahu aku bisa mati kapan saja, tapi jika aku mati saat mendaki, setidaknya jiwaku akan tenang." ujar Ranu.
Ia kembali sibuk berkemas, kali ini ia mengemas beberapa kuas dan cat air kedalam tas kain. Mendaki rinjani adalah impiannya yang tertunda, dulu ia pernah kesana, mendaki. Tapi penyakitnya kambuh saat tiba di pos dua alhasil ia harus kembali turun karena takut penyakitnya semakin parah.
"Nis, aku pergi dulu. Doakan aku baik-baik saja! Jangan bilang pada Yama dan yang lainnya, kalau aku pergi mendaki." pinta Ranu. Nisa tak punya pilihan lain, ia sangat mengenal seperti apa sahabatnya ini. Ranu bukan hanya pria batu tapi juga kepala batu (keras kepala).
"Baiklah, jaga dirimu. Jika terjadi masalah telepon Aku atau Yama." Ranu mengangguk, meninggalkan rumah yang telah ia dan ketiga sahabtnya huni selama dua belas tahun. Saat langkahnya sudah separuh jalan ia berhenti dan menoleh kebelakang, menatap rumah yang menjadi saksi kehidupannya, rumah yang berisi kenangan tentang Yama, Nisa, Nil, dan Kiran.
"Aku pergi!" untuk terakhir kalinya ia melambaikan tangan pada sahabatnya Nisa. Yama dan Nil sedang sibuk dengan dunia perkuliahannya, jadi mereka tidak tahu bahwa sahabatnya si kepala batu diam-diam pergi untuk mendaki rinjani.
***
Ranu sudah berada di bandara, ia berlari-lari kecil menuju ruang tunggu. Dengan nafas terengah dia berhasil sampai. Bandara ramai tapi tak sebanyak biasanya, ia memerhatikan sekeliling melihat puluhan bahkan ratusan orang saling berpelukan penuh haru. Dalam hati ia bergumam, "Bagaimana mungkin bandara sanggup menjalani hari-harinya. Menjadi saksi setiap tetes air mata dan lambaian tangan dari jutaan perpisahan dan pertemuan."
Setelah menunggu sekitar satu jam, akhirnya ia memasuki pesawat untuk selanjutnya terbang menuju Lombok. Di depannya pramugari sedang memeragakan safety demonstrasion, Ranu tidak memerhatikannya ia hanya sibuk menatap jendela. Ini bukan pertama kalinya ia naik pesawat, hanya saja terakhir kali ia naik pesawat meninggalkan cerita yang membekas begitu dalam di hatinya, peristiwa yang membuatnya menjadi yatim piatu.
"Leadis and gentelman, welcome onboard 123A with service to Lombok. We are currently third in line for take-off and are expected to be in the air in approximately seven minutes time!"
Ranu tak henti-hentinya menghela nafas, saat suara pramugari terdengar di seluruh kabin. Ia gugup, takut jika satu mimpinya tak terwujud, takut jika kejadian lima belas tahun lalu kembali terulang. Pesawat lepas landas, pria bertubuh kurus itu memejamkan mata rapat-rapat dan tangannya meremas kursi yang ia duduki seraya berdoa dalam hati.
Pesawat berhasil lepas landas, kini si burung besi sudah berada di ketinggian sebelas meter. Dari balik kaca kita bisa melihat betapa kecilnya ibu kota dari ketinggian. Ranu masih setia menatap keluar jendela. Langit berwarna biru cerah dan gumpalan awan yang menyerupai permen kapas berwarna putih, persis seperti lima belas tahun lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ada Apa Di Puncak 3726 Mdpl
RomanceBerawal dari Ranu yang mendaki gunung rinjani untuk melukis danau segara anak, ditengah perjalanan ia terpisah dari rombongannya dan malah tidak sengaja bergabung dengan rombongan lain. Tak disangka ia malah bertemu dengan seorang wanita yang sangat...